Editorial Media Indonesia: Bukan Janji Manis Penegakan Hukum

Editorial Media Indonesia: Bukan Janji Manis Penegakan Hukum. Foto: Media Indonesia (MI)/Seno.

Editorial Media Indonesia: Bukan Janji Manis Penegakan Hukum

Media Indonesia • 16 December 2025 05:33

Sungguh teramat dahsyat dampak banjir bandang yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu, 14 Desember 2025, mencatat lebih dari 1.000 orang meninggal dunia, 217 hilang, dan 5.400 lainnya luka-luka. Tak kurang dari 158 ribu rumah warga rusak hingga hancur, 145 jembatan putus, serta berbagai infrastruktur vital luluh lantak di banyak wilayah.

BNPB memperkirakan kebutuhan dana pemulihan di tiga provinsi tersebut mencapai Rp51,82 triliun. Angka itu masih bisa membengkak mengingat hujan belum berhenti mengguyur kawasan terdampak. Sulit dibayangkan bila wilayah yang sudah porak-poranda itu kembali diterjang banjir bandang susulan.

Tragedi di Sumatra kembali mengajarkan pelajaran mahal yang kerap diabaikan, yakni hutan bukan sekadar hamparan pohon, melainkan penyangga utama kehidupan manusia. Ketika hutan diutak-atik, apalagi digunduli, bencana tinggal menunggu waktu.
 


Ironisnya, memasuki pekan ketiga pascabencana yang mulai terjadi sejak akhir Oktober 2025, negara belum juga mengumumkan pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan di wilayah hulu. Padahal, Kementerian Kehutanan telah mencabut 22 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) di tiga provinsi tersebut. Kepolisian bahkan mengaku telah mengantongi nama calon tersangka.

Kita patut mengapresiasi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang berjanji akan menyikat habis pembalakan liar. Janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengumumkan tersangka pembalakan liar di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, juga layak dicatat.

Namun, pertanyaan mendasar tak terelakkan ialah mengapa negara seolah hanya membidik pembalak liar? Bagaimana dengan pembalakan berizin? Apakah negara telah sampai pada kesimpulan bahwa jutaan gelondong atau kayu batangan yang kini berserakan di berbagai lokasi semata-mata hasil kerja pembalak ilegal?

Logika publik sulit menerima anggapan itu. Jumlah gelondong yang mencapai jutaan batang tak mungkin ditebang, diolah, dan didistribusikan oleh individu atau kelompok kecil. Skala sebesar itu hanya mungkin dilakukan oleh korporasi dengan dukungan modal besar, mesin berat, dan tenaga kerja masif.

Tentu ini masih dugaan. Namun, bagi akal sehat, dugaan itu sudah tergolong kuat dan semestinya tidak sulit untuk dibuktikan. Masalahnya, di sinilah ujian sesungguhnya penegakan hukum dimulai, yakni adakah kemauan politik dan keberanian aparat untuk membuktikannya?


Tumpukan kayu pascabanjir Sumatra. Foto: Dok. Media Indonesia.

Apakah lebih dari seribu korban jiwa dan kerugian triliunan rupiah belum cukup untuk memantik keberanian itu? Pertanyaan tersebut harus segera dijawab oleh negara. Jawaban yang jujur dan tegas setidaknya dapat sedikit mengobati luka dan kemarahan publik.

Hati masyarakat yang telah hancur akibat bencana tidak boleh kembali dilukai oleh penegakan hukum yang tebang pilih. Kerusakan alam sudah terjadi, jangan lagi ditambah dengan kerusakan pranata hukum. Jika itu terjadi, kepercayaan publik kepada negara benar-benar terancam runtuh.
 
Karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum wajib mengusut tuntas praktik pembalakan hutan secara transparan dan terang benderang, baik yang ilegal maupun yang berlindung di balik izin resmi. Kejahatan kehutanan tidak boleh diperparah dengan pembabatan hukum.

Perlu diingat, bencana selalu datang sebagai tamu tak diundang. Ia tak pernah memberi aba-aba. Yang bisa dilakukan negara hanyalah memastikan bahwa keserakahan manusia dan kelumpuhan hukum tidak lagi menjadi undangan berikutnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)