Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI), Agus Riyanto, menyatakan hingga saat ini praktik importasi borongan secara ilegal masih terus terjadi tanpa ada perintah pelarangan dari para petinggi Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Hal itu membuat tren pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) masih terus berlanjut.
"Mereka seperti merestui praktik importasi ilegal ini," ungkap Agus melalui keterangan tertulis dilansir Media Indonesia, Selasa, 20 Agustus 2024.
Sebelumnya, data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebutkan bahwa di Juli tahun ini sekitar 700 karyawan di Jawa Tengah dan di Agustus 2024 ada sebanyak 500 orang karyawan lagi di Jawa Barat yang terkena PHK. Kedua perusahaan itu juga menutup pabrik.
Wilayah Satgas impor terbatas
Lebih lanjut Agus mengungkapkan, meskipun pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah membentuk Satgas impor ilegal, kondisi industri tidak membaik karena wilayah kerja Satgas yang terbatas di pasar dalam negeri.
"Padahal kita semua sangat paham bahwa permasalahan utamanya ada di Pelabuhan, dimana Bea Cukai terus membuka pintu bagi praktik importasi illegal, dan hingga saat ini sepertinya tidak ada niatan dari Menteri Keuangan untuk mengatasi permasalahan,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya, Nandi Herdiaman menyatakan bahwa kondisi industri kecil dan menengah masih terpuruk meskipun dibulan Juni ada sedikit order dari konsumsi seragam.
"Kami masih sangat mengharapkan belas kasihan dari pemerintah untuk menolong kami. Disini kami mengemis keadilan Menteri Keuangan untuk segera melarang praktik impor borongan,” ujar dia.
Nandi kembali menuturkan bahwa mereka siap bersaing secara adil dengan barang-barang impor, asal sama-sama memenuhi kewajiban perpajakannya.
Ditempat lain, Ketua Komite Tetap Industri Manufaktur Bidang Asosiasi dan Himpunan Kadin Indonesia, Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa permasalahan importasi ilegal ini terjadi juga di sektor lain seperti elektronik, alas kaki, komponen otomotif, besi baja, mainan hingga peralatan rumah tangga lainnya sehingga memukul kinerja industri manufaktur.
"Kita lihat dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan industri selalu dibawah PDB dengan kontribusi yang hanya disekitar 16 persen," kata Redma.
Redma menambahkan bahwa kinerja buruk Bea Cukai menjadi faktor utama turunnya penerimaan pajak dari sektor manufaktur hingga 13,8 persen per Juli 2024 sebagai implikasi pertumbuhan industri manufaktur yang hanya 3,95 persen di kuartal kedua 2024.