Gagal Bertemu Kapolri, Koalisi Masyarakat Sipil Pertanyakan Tindakan Represif Aparat ke Kadiv Propam

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid. (Medcom.id/Siti Yona)

Gagal Bertemu Kapolri, Koalisi Masyarakat Sipil Pertanyakan Tindakan Represif Aparat ke Kadiv Propam

Siti Yona Hukmana • 28 August 2024 18:32

Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil gagal bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mempertanyakan tindakan represif anggota saat pengamanan demo tolak pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada beberapa waktu lalu. Meski demikian, mereka disambut oleh Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan selain Kadiv Propam, pihaknya juga bertemu dengan sejumlah penasihat ahli, staf ahli, termasuk koordinator staf ahli Kapolri Irjen Hadi Gunawan.

"Di dalam pertemuan itu kami menyampaikan paling tidak tiga hal, yang pertama adalah kami mempertanyakan kebijakan Kapolri dalam penanggulangan unjuk rasa di berbagai kota," kata Usman di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 28 Agustus 2024.

Usman menuturkan setidaknya dia dan sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan 12 kota yang terdapat tindakan represif oleh aparat kepolisian dalam mengamankan demo. Mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Malang, Banda Aceh, Tarakan, Purwokerto, Palu, Banjarmasin, Kediri, dan Pekanbaru.

"Kami juga menyampaikan di berbagai kota itu, kepolisian melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak diperlukan, dpenggunaan kekuatan yang eksesif termasuk water cannon, gas air mata, juga tindakan pemukulan, menendang, memukul termasuk juga melakukan tindakan yang tidak manusiawi dan bahkan bisa digolongkan sebagai tindakan penyiksaan," tutur aktivis tersebut.

Tak hanya itu, dia menyebut ada pula tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan sewenang-wenang. Bahkan, kata Usman, sejumlah advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan sejumlah lembaga masyarakat lainnya mendapat kendala dalam mengakses pendampingan terhadap pedemo yang ditangkap.

"Jadi,kami meminta pertanggungjawaban Kapolri atas tindakan eksesif yang dilakukan di berbagai wilayah dan kami menduga tindakan itu merupakan pilihan kebijakan di tingkat pusat, khususnya di tingkat Mabes Polri," ungkapnya.

Baca: 

Datangi Kapolri, Koalisi Masyarakat Sipil Pertanyakan Represi saat Demonstrasi


Bila kebijakan represif itu benar dari pusat, kata, Usman, dia akan mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Bahkan, dia tak segan meminta Listyo mundur dari jabatan orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu.

"Bahkan, kami tadi menyampaikan kalau perlu Kapolri mundur. Karena masih ada pati-pati (Perwira Tinggi) yang mungkin lebaih baik untuk memimpin Polri," tekannya.

Poin kedua yang ia sampaikan ialah pengamanan demo yang represif diduga dari tak netralnya Polri dalam menyikapi kontestasi elektoral. Dia menyebut menjelang Pemilu Presiden dan legislatif beberapa bulan lalu, ada banyak suara dari guru besar dan akademisi yang mengkhawatirkan keberpihakan kepolisian kepada pemerintahan yang berkuasa, khususnya Pemerintahan Jokowi.

"Menjelang pilkada kali ini, juga itu kembali tampak, dan itu bisa diterima. Maksudnya bisa kami pahami sebagai tindak yang bisa jadi dipengaruhi oleh kedekatan Kapolri dengan Presiden. Dan kalau itu benar, sebenarnya itu menyalahi posisi kepolisian sebagai pengayom masyarakat, pelindung masyarakat, pelayan masyarakat, dan seharusnya kepolisian independen di tengah antara kepentingan pemerintah, kepentingan negara, dan kepentingan masyarakat," ujarnya.

Ketiga, dia menyampaikan belakangan ini Polri tidak hanya progresif dalam penanggulangan unjuk rasa, tapi juga dalam mengontrol ruang sadap. Bahkan, Usman menduga kepolisian memiliki alat-alat sadap yang sangat berbahaya bagi kebebasan berekspresi.

"Seperti pegasus dan lain-lain (perangkat berbasis software) yang dalam penelitian Amnesty di bulan Mei yang lalu, kami sudah umumkan itu dibeli dari Israel melalui Singapura. Bahkan beberapa bulan sebelumnya, kami surati Polri bahwa kami menyesalkan mengapa Polri tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Amnesty Internasional terkait alat sadap-sadap itu," ungkapnya.

Sebelumnya, belasan Koalisi Masyarakat Sipil mendatangi kantor Kapolri di Mabes Polri, Jakarta dengan harapan bisa bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Selain Usman, hadir pula di antaranya Tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) Todung Mulya Lubis; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Sulistyowati Irianto; dan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Simon Lili. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Lukman Diah Sari)