Pj Gubernur NTB Lalu Gita Ariandi/Medcom.id/Candra
Candra Yuri Nuralam • 21 November 2023 20:11
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memanggil dan memeriksa Penjabat (Pj) Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi. Lalu Gita mengaku diminta menjelaskan soal proses pemberian izin pertambangan untuk PT Tukad Mas.
"Pertanyaan terkait substansi bagaimana proses penerbitan izin dari izin usaha pertambangan operasi khusus PT Tukad Mas," kata Lalu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 21 November 2023.
Lalu tidak bisa memerinci kaitan perizinan pertambangan PT Tukad Mas dengan kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi di Pemerintahan Kota Bima. Menurutnya, penyidik menanyakan hal tersebut karena dirinya pernah menjadi Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di NTB.
"Biasa kita dikonfirmasi kelengkapan persyaratan di dalam proses penerbitan izin, di mana ada SOP di sana bahwa kita menerbitkan izin itu setelah adanya pertek (pedoman pemberian pertimbangan teknis) dari dinas teknis, dan itu kita kerjakan semua sesuai dengan SOP," ujar Lalu.
Menurut Lalu, perizinan pertambangan itu dikeluarkan tanggal 2 Oktober 2019. Dia dipindahtugaskan menjadi Sekda Provinsi NTB pada Desember 2019.
"Sehingga proses setelah izin keluar saya tidak ikuti perkembangannya," ucap Lalu.
Penyidik juga meminta Lalu menjelaskan kedekatannya dengan Wali Kota nonaktif Bima Muhammad Lutfi. Namun, mayoritas pertanyaan soal penerbitan izin pertambangan untuk PT Tukad Mas.
Wali Kota nonaktif Bima Muhammad Lutfi menjadi tersangka dalam perkara gratifikasi proyek. Kasus ini bermula ketika Lutfi ingin mengondisikan proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemerintah Kota (Pemkot) Bima. Dia mengajak keluarga intinya melakukan permainan kotor itu.
Lutfi juga diduga memerintahkan sejumlah pejabat menyusun berbagai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima. Kongkalikong itu dilakukan di rumah dinasnya.
Proyek yang dikondisikan untuk Tahun Anggaran 2019 sampai dengan 2020. KPK mencatat uang yang dikeluarkan negara untuk pengerjaan yang sudah dilakukan mencapai puluhan miliar rupiah.
KPK juga meyakini Lutfi mengatur proses lelang proyek sebagai formalitas belaka. Pemenangnya diketahui tidak sesuai kualifikasi persyaratan yang sudah ditentukan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi mendapatkan uang Rp8,6 miliar. KPK kini masih mendalami proyek lain.
Dalam perkara ini, Lutfi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (i) dan atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.