Zein Zahiratul Fauziyyah • 8 November 2025 08:42
Jakarta: Keraton Solo atau Keraton Surakarta Hadiningrat bukan sekadar bangunan bersejarah, melainkan pusat budaya, politik, dan spiritual yang telah bertahan selama berabad-abad di tanah Jawa. Berdirinya keraton ini menjadi bukti perjalanan panjang sejarah kerajaan Mataram Islam yang penuh dinamika, intrik politik, dan perjuangan melawan kolonialisme.
Asal Usul Berdirinya Keraton Solo
Sejarah Keraton Solo bermula dari runtuhnya
Keraton Kartasura pada pertengahan abad ke-18. Kekacauan besar yang dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan menjadi titik awal perpindahan pusat pemerintahan Mataram ke daerah Dusun Sala, yang kini dikenal sebagai Kota Solo.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono II, istana Kartasura hancur akibat pemberontakan dan konflik internal. Untuk menjaga kelangsungan pemerintahan, sang raja memutuskan memindahkan pusat kerajaan dan membangun istana baru di Sala pada tahun 1745 Masehi. Sejak saat itulah berdiri
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, atau yang lebih dikenal dengan Keraton Solo.
Nama “Surakarta” berasal dari perpaduan kata “Sura” dan “Karta” yang berarti keberanian dan kemakmuran. Sementara “Solo” berasal dari nama dusun tempat istana baru tersebut berdiri. Dalam praktiknya, istilah “Surakarta” lebih banyak digunakan dalam konteks formal, sedangkan “Solo” digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Perjanjian Giyanti: Awal Terbaginya Kerajaan Mataram Islam
Salah satu babak penting dalam sejarah Keraton Solo adalah Perjanjian Giyanti tahun 1755. Perjanjian ini menandai berakhirnya perang saudara antara pihak Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I).
Melalui kesepakatan dengan pihak VOC (Belanda), Kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah kekuasaan Pakubuwono III dan
Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I.
Pembagian ini tak hanya membentuk dua kerajaan besar di tanah Jawa, tetapi juga menjadi fondasi perkembangan budaya Jawa yang unik di masing-masing wilayah hingga kini.
Perjuangan di Masa Kolonial
Selama masa kolonial, Keraton Solo memainkan peran penting dalam menjaga identitas budaya Jawa di tengah tekanan pemerintahan kolonial Belanda. Para raja Kasunanan Surakarta harus menyeimbangkan hubungan diplomatik dengan VOC, sambil mempertahankan tradisi dan kedaulatan istana.
Beberapa raja seperti Pakubuwono IV hingga Pakubuwono X dikenal sebagai tokoh penting yang menjaga
warisan budaya Jawa, termasuk tata krama, upacara adat, dan seni pertunjukan seperti gamelan serta tari klasik.
Silsilah Raja Keraton Solo dari Masa ke Masa
Sejak berdirinya pada tahun 1745, tahta Keraton Solo diwariskan secara turun-temurun dari Pakubuwono II hingga kini mencapai Pakubuwono XIII.
Berikut silsilah lengkap para raja Keraton Surakarta Hadiningrat:
- Sri Susuhunan Pakubuwono II (1745–1749)
- Sri Susuhunan Pakubuwono III (1749–1788)
- Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788–1820)
- Sri Susuhunan Pakubuwono V (1820–1823)
- Sri Susuhunan Pakubuwono VI (1823–1830)
- Sri Susuhunan Pakubuwono VII (1830–1858)
- Sri Susuhunan Pakubuwono VIII (1859–1861)
- Sri Susuhunan Pakubuwono IX (1861–1893)
- Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893–1939)
- Sri Susuhunan Pakubuwono XI (1939–1944)
- Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1944–2004)
- Sri Susuhunan Pakubuwono XIII (2004–2025)
Pakubuwono XIII, yang wafat pada 2 November 2025, menjadi figur penting dalam era modernisasi Keraton Solo. Ia dikenal sebagai penjaga tradisi dan simbol pemersatu masyarakat Surakarta di tengah perubahan zaman.
Pewaris tahta selanjutnya adalah KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, yang telah ditunjuk sebagai putra mahkota sejak 2022. Saat ini, kekuasaan sementara dipegang oleh Gusti Adipati Anom, yang memimpin transisi menuju pelantikan resmi raja baru, Pakubuwono XIV.
Warisan Budaya dan Nilai Filosofis
Keraton Solo hingga kini tetap menjadi pusat kebudayaan Jawa. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur seperti kerendahan hati, keselarasan, dan keseimbangan hidup. Bangunan berarsitektur tradisional Jawa berpadu dengan pengaruh kolonial menjadi simbol harmoni antara masa lalu dan masa kini.
Beragam kegiatan budaya seperti Sekaten, kirab pusaka, dan upacara adat kerajaan rutin digelar di lingkungan Keraton, menjadi daya tarik wisata budaya yang tak lekang oleh waktu.