Bedah Editorial MI: Radikal Membersihkan Peradilan

29 April 2025 09:28

KETIKA pemberantasan korupsi sudah begitu basa-basi, mestinya pengadilan adalah harapan terakhir kita. Nyatanya di negeri ini, lembaga peradilan malah jadi benteng yang sangat rapuh.

Bukan cuma hakim dan panitera, bahkan staf biasa sampai pensiunan pun ikut dalam komplotan mafia kasus di pengadilan. Mereka berbagi peran, bukan saja dengan rapi, melainkan juga dengan rakusnya.

Itu sebabnya, dalam kasus demi kasus yang terungkap, suap bukan lagi kata yang tepat. Pemerasan adalah kata yang lebih pas karena kerja mafia peradilan di Indonesia tak sekadar menerima suap tapi jelas-jelas memeras. 

Bahkan, seperti yang terungkap dalam kasus korupsi minyak goreng Wilmar Group sebagaimana dinyatakan Kejaksaan, panitera Wahyu Gunawan-lah yang mendesak pengacara Wilmar Group, Ariyanto, untuk ‘mengurus’ perkara yang tengah berproses di PN Tipikor Jakpus itu. Wahyu Gunawan pun disebut-sebut mengancam putusan yang dijatuhkan hakim bakal bisa melebihi tuntutan jaksa jika permintaan itu tidak dipenuhi. 

Sejurus dengan itu, masih menurut hasil penyidikan Kejaksaan, Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakpus, menolak saat pejabat Wilmar Group Muhammad Syafei hanya bisa menyediakan Rp20 miliar. Arif kukuh meminta Rp60 miliar. 

Arif kemudian menunjuk tiga hakim, yakni Djuyamto sebagai ketua majelis, Ali Muhtarom sebagai Hakim adhoc, dan Agam Syarif Baharudin sebagai anggota majelis. Dari ketiganya itulah akhirnya Wilmar Group bisa mendapat vonis lepas. Padahal, tuntutan jaksa Rp11 triliun sebenarnya masih jauh di bawah dari kerugian Rp17 triliun yang dibuat korporasi itu terhadap negara.
 

Baca: Pakar Duga Jajaran Petinggi Wilmar Group Terlibat Suap Putusan Perkara CPO

 
Maka, sekali lagi, lembaga peradilan seperti menjadi produsen kebusukan. Kerja bersih, yang juga kian langka di kejaksaan dan kepolisian, malah dijegal di garis finis. 

Karena itu, begitu pun kini Mahkamah Agung (MA) saat melakukan mutasi besar-besaran hakim dan panitera, itu tetap belum cukup. Keputusan mutasi untuk 199 hakim dan pimpinan pengadilan negeri di seluruh Indonesia, khususnya Jakarta dan Surabaya, diyakini tidak akan membuat mafia peradilan mati jika tanpa disertai dengan langkah-langkah lain yang lebih radikal.
 
Potret mafia peradilan di kasus minyak goreng, maupun di kasus vonis bebas Ronald Tannur oleh tiga hakum PN Surabaya, beberapa waktu lalu, boleh jadi hanyalah puncak gunung es dari kotornya lembaga peradilan. Terlebih lagi, semua itu bukan hal baru, dan bahkan tidak banyak berubah ketika puluhan hakim tertangkap OTT oleh KPK pada 2016.

Kala itu, Hakim Agung Gayus Lumbuun, menyatakan bahwa lembaga peradilan sudah seperti pasar. Bahkan, tukang parkir pun bisa menjadi perantara jual beli kasus. Omongan itu terbukti ketika pensiunan pejabat MA seperti Zarof Ricar pun masih bisa mengatur penyusunan hakim perkara Ronald Tannur dan ikut mengatur perkara kasus migor. 

Pembersihan sama sekali tidak cukup dengan mutasi. Perlu langkah radikal agar negara bisa benar-benar menumpas gembong mafia kasus macam Zarof atau yang lain. Tentu naif jika mengira gembong seperti dia hanya 'bermain' seorang diri. Naif pula jika jaringan mafia ini akan padam hanya dengan mutasi hakim dan panitera. 

MA dituntut untuk membuat langkah yang benar-benar radikal. Setelah mutasi besar-besaran itu, pengawasan ketat, bahkan pemeriksaan, harus dilakukan terhadap semua hakim dan panitera yang pernah terlibat ataupun bekerja bersama dengan hakim-hakim yang kini tengah berperkara.

MA juga harus memeriksa kembali semua putusan yang pernah dibuat hakim beperkara maupun jaringannya. Kejanggalan sedikit apapun harus diusut tuntas. Saatnya pula negara memikirkan serius opsi untuk menguji ulang seluruh hakim di Indonesia. 

Meski radikal dan memakan waktu, sesungguhnya ini adalah langkah rasional untuk menyelamatkan hakim-hakim bersih dari total 7.742 hakim yang kita punyai. Tanpa langkah itu, jaringan mafia peradilan akan terus menyebar virusnya dan menjadi musuh dalam penegakan hukum apa pun.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)