12 June 2025 11:55
PERILAKU koruptif lebih didorong oleh hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan. Perilaku koruptif juga muncul akibat kosongnya integritas diri dan moral. Apalagi jika ditambah dengan kekuasaan yang besar yang membuka peluang untuk melakukan hal tersebut, perilaku koruptif semakin menjadi-jadi.
Perilaku koruptif lebih berkaitan erat dengan mental dan perilaku individu, bukan akibat kurangnya kesejahteraan, atau gaji yang tidak mencukupi. Tingginya gaji tidak menjamin seseorang tidak melakukan korupsi.
Tengok saja sejumlah pegawai negara di sebuah institusi gemuk remunerasi, toh masih tertangkap tangan melakukan korupsi. Begitu juga dengan mantan kepala SKK Migas yang digaji Rp250 juta per bulan plus tunjangan lainnya, toh tidak mampu mengerem hasratnya untuk tergoda rasuah.
Ada juga mantan gubernur yang kekayaannya mencapai Rp40,8 miliar, tak juga menghentikan lajunya menuju jeruji besi karena korupsi. Maka, sulit diterima logika ketika Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Cahya H Harefa mendorong pemerintah pusat agar menaikkan gaji para kepala daerah dengan maksud mencegah mereka dari perbuatan korup.
Nyata-nyata terlihat bahwa gaji besar tidak menjamin perilaku koruptif para pejabat bisa disetop. Sistem penggajian yang diterapkan saat ini tentu sudah memperhitungkan dapat memenuhi kebutuhan kepala daerah dan kemampuan keuangan negara.
Karena itu, usulan menaikkan gaji kepala daerah demi mencegah korupsi merupakan gagasan yang keliru dan tidak menyelesaikan masalah utama dalam praktik korupsi. Gagasan itu seperti berjalan dengan kaki di kepala, meletakkan kepala di kaki, alias terbalik-balik.
Ada semacam kegagalan menangkap apa sebenarnya problem mendasar dari perkara korupsi yang kerap kali melibatkan kepala daerah. Korupsi seharusnya dimulai dari menyelesaikan akar masalah di hulu, bukan malah dengan menaikkan gaji yang menjadi urusan di hilir.
Baca juga: Prabowo Teken Perpres Pengadaan, Begini Reaksi KPK |