Bedah Editorial MI: Setop Memperdagangkan Keadilan

25 October 2024 09:18

PERILAKU korup seperti tidak ada habisnya dipertontonkan sejumlah penegak hukum di negeri ini. Mereka yang sejatinya menjadi pengawal hukum dan keadilan agar tetap tegak, justru menjerumuskan hukum dan keadilan tersebut ke dasar jurang dengan memperjualbelikannya.

Kali ini laku korup itu dipraktikkan oleh tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Mereka adalah Erintuan Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH). Ketiganya adalah majelis hakim yang telah memvonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur dari segala dakwaan dalam kasus penganiayaan yang berakibat kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap ketiganya atas tuduhan kasus dugaan suap atau gratifikasi. Bersama mereka, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menangkap Lisa Rahmat (LR), pengacara yang diduga menyuap ketiganya untuk membebaskan Ronald Tannur dalam sidang pada Rabu (24/7) lalu.

Vonis bebas Ronald Tannur yang merupakan putra dari mantan salah satu anggota DPR RI Edward Tannur, kala itu memang membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Keputusan tersebut benar-benar mencederai rasa keadilan. Jangankan orang yang paham hukum, orang awam pun bisa mencium aroma busuk yang meruap dari keputusan tersebut.
 

Baca: Pakar Hukum Pidana Apresiasi Kejagung Soal Kasus Ronald Tannur

Ronald Tannur sendiri akhirnya batal menghirup udara bebas. Majelis hakim di tingkat kasasi pada Selasa (22/10) membatalkan vonis bebas Ronald Tannur dan menghukumnya dengan pidana penjara selama lima tahun.

Penangkapan ketiga hakim tersebut kembali membuka borok dan para penjaga hukum dan keadilan. Ini bukan kali pertama para hakim yang disebut-sebut sebagai wakil Tuhan itu ditangkap karena laku korup. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 20 hakim yang terjerat korupsi sejak 2012 hingga 2019. Di antara mereka ada nama-nama besar seperti Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dan Akil Mochtar.

Padahal, baru-baru ini mereka disorot lantaran perilaku mereka yang dinilai menelantarkan perkara. Mereka lebih memilih cuti kerja demi menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Apakah lantaran gaji dan tunjangan mereka masih kurang hingga akhirnya menerima suap? 

Kurang atau tidak, memperjualbelikan hukum bukan tindakan yang dibenarkan. Apalagi dalam kasus yang menghilangkan nyawa orang lain. 

Penangkapan ketiga hakim ini jelas-jelas mencederai komitmen para hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan. Maka, langkah Kejagung yang menangkap ketiga hakim PN Surabaya dan pengacara Ronald Tannur tersebut patut diapresiasi. Ketiganya dan pihak-pihak yang terlibat patut dihukum seberat-beratnya untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. 

Hukuman terhadap hakim dan para penegak hukum yang melanggar semestinya juga lebih berat lantaran mereka telah melecehkan korps mereka sendiri. Bukan sekadar dipecat, tapi bisa juga dengan menyetop fasilitas yang mereka terima, termasuk menyetop uang pensiun. 

Bila langkah tegas itu tidak dilakukan, negeri ini akan berkutat dalam lingkaran sia-sia bak menegakkan benang basah. Tanpa efek jera, muruah hakim tidak akan pernah benar-benar tegak. 

Dari kasus penangkapan hakim yang terus berulang menunjukkan perlunya revolusi dalam pembinaan hakim-hakim. Tegakkan kembali pengadilan sebagai ajang mencari keadilan dan menegakkan hukum. Bukan untuk ajang jual beli hukum.  

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)