Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Mei 2025 memicu perdebatan publik. MK memutuskan bahwa negara wajib membebaskan biaya pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik negeri maupun swasta.
Dalam amar putusannya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan Indonesia menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Putusan ini diklaim menguatkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, pertanyaannya apakah realistis jika semua sekolah dasar dan menengah, termasuk swasta, digratiskan oleh negara?
Tim Telusur Kasus Metro TV menyambangi SD Barunawati 2, salah satu sekolah swasta di Jakarta Barat. Kepala sekolah Untung Suripto menyatakan bahwa wacana ini bergantung penuh pada kesiapan anggaran pemerintah.
"Di Palmerah saja ada 11 SD swasta, yang benar-benar mampu hanya dua. Sisanya butuh perhatian khusus. Tapi sampai sekarang, belum ada sosialisasi jelas dari pemerintah terkait teknis pelaksanaannya," ujar Untung dikutip dari Metro Siang Metro TV pada Kamis, 5 Juni 2025.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan apa saja komponen yang akan digratiskan, uang pangkal, SPP, atau seluruh biaya operasional. Ketidakjelasan ini membuat sekolah swasta masih gamang bersikap.
Keluhan senada juga datang dari Nurrobbiana, Kepala Sekolah MI Misbahun Nasyiin, Jakarta Barat. Ia menyebut, jika pemerintah tidak menanggung seluruh biaya, maka sekolah swasta bisa kewalahan.
"Seluruh guru kami non-
PNS. Kalau sekolah harus gratis tapi tanpa sokongan dana, itu seperti buah simalakama. Kami ingin mendukung, tapi kami juga punya batas kemampuan," katanya.
Kekhawatiran tak hanya datang dari pengelola sekolah. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir bahkan menyatakan ketidaksetujuannya. Ia menilai keputusan MK berisiko mematikan eksistensi sekolah swasta yang selama ini menjadi mitra strategis pemerintah dalam mendidik anak bangsa.
Sementara itu,
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pihaknya masih mengkaji kebijakan tersebut bersama Kementerian Keuangan dan DPR.
"Putusan MK itu final dan mengikat. Tapi pelaksanaannya butuh koordinasi antarkementerian, termasuk hitungan detail soal anggaran," ujar Mu’ti.
Faktanya, anggaran pendidikan Indonesia untuk tahun 2025 sesuai amanat UUD 1945 mencapai Rp724,3 triliun. Namun dari angka itu, hanya sekitar Rp26,27 triliun yang dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah setelah melalui efisiensi anggaran.
Sementara menurut data Biro Perencanaan Kemendikbudristek tahun 2024, untuk menggratiskan seluruh SD dan SMP negeri maupun swasta diperlukan setidaknya Rp65,2 triliun. Termasuk kebutuhan personalia, operasional, hingga sarana prasarana yang mencapai Rp354 triliun.
Namun contoh di daerah menunjukkan secercah harapan. Pemerintah Kota Tangerang misalnya, sudah menggratiskan 135 SD dan SMP swasta lewat anggaran khusus sebesar Rp38,8 miliar. Tapi, jumlah ini pun belum mencakup seluruh sekolah swasta di wilayah tersebut.
Pengamat pendidikan dari Universitas Al Azhar Suparji Ahmad menilai keterbatasan daya tampung sekolah negeri membuat keberadaan sekolah swasta sangat penting.
"Jika negara belum mampu membiayai sekolah swasta, sementara sekolah swasta tidak boleh memungut biaya, lalu bagaimana mereka bertahan? Jangan sampai niat baik justru menghambat pendidikan," ujarnya.
Menggratiskan pendidikan dasar adalah langkah berani dan mulia. Namun kebijakan ini harus dibarengi perencanaan anggaran yang matang, tanpa mengorbankan kualitas pendidikan itu sendiri.
(Tamara Sanny)