Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai NasDem Hermawi Taslim mengungkap pihaknya menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold) 20%. Namun menurut pandangannya, Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak sesederhana itu.
"Dalam masyarakat kita yang menjemuk, yang jumlahnya 200 juta lebih, diperlukan pandangan-pandangan yang lebih komprehensif agar putusan-putusan yang dijatuhkan itu bisa diimplementasikan," kata Hewmawi dalam tayangan Metro Pagi Primetime, Metro TV, Jumat, 3 Januari 2024.
Hermawi menuturkan, jika ingin menjadi seorang pemimpin 200 ribu rakyat Indonesia maka perlu modal sosial yang kuat. Ia pun tak bisa membayangkan siapa sosok yang bisa memimpin Indonesia tanpa adanya
presidential threshold.
"Saya mau kasih contoh saja, sekarang di banyak tempat termasuk di kompleks saya tinggal, menjadi calon ketua RT saja ada
threshold-nya, ada batasnya. Kamu punya modal apa menjadi pimpinan di tingkat RT? Kamu punya modal apa di tingkat kelurahan," ujarnya.
Menurutnya,
presidential threshold merupakan satu ketentuan yang universal di dalam organisasi-organisasi. Aturan itu sudah berlaku puluhan tahun di dunia.
"Saya khawatir putusan MK ini tidak melalui pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif sehingga nanti akan sulit implementasinya karena pemilihan presiden itu demikian rumit," ucap Hermawi.
Sekjen Partai NasDem itu khawatir dengan dihapusnya
presidential threshold. Sebab, hal itu akan membawa implikasi-implikasi rumit bagi penyelenggaraan teknis
Pilpres yang akan datang.
"Yang selama ini diperbincangkan di tingkat partai-partai itu adalah bagaimana meninjau, bagaimana melihat kembali persentase. Kalau alasannya tingkat pendidikan rakyat, kesadaran politik, dan segala macam, mari kita bicara ulang," ungkapnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden 20%. Dengan putusan ini, ambang batas pencalonan presiden menjadi 0.
Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025). Perkara tersebut terregistrasi dalam perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah menilai dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.