7 August 2025 08:08
Sama seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam. Pejabat negara ataupun penegak hukum yang semestinya jadi garda depan, ada yang justru menjadi musuh dalam selimut.
Dalam berbagai kasus, mereka bukan sekadar menjadi kaki tangan, melainkan berperan sebagai otak kejahatan. Jika sudah begitu, mereka akan dua kali lebih berbahaya daripada mafia sekali pun. Mereka merusak masyarakat sekaligus institusi, dan meninggalkan budaya kotor yang belum tentu bisa dipulihkan hanya dengan penangkapan.
Sebab itu, ketika mereka bisa dibawa ke pengadilan, vonis maksimal amat pantas dijatuhkan. Penegak hukum yang menjadi otak kejahatan "extraordinary crime" hanya pantas dengan vonis yang juga "extraordinary", yang dalam hukum Indonesia vonis maksimal itu ialah hukuman mati. Kendati terjadi perdebatan soal hukuman mati, nyatanya hingga kini undang-undang masih memcantumkan vonis mati di dalamnya sebagai hukuman paling berat.
Vonis mati atau stidaknya seumur hidup, dianggap setimpal dengan perbuatan mereka. Vonis di bawah itu, selain dirasakan tidak setimpal, juga diyakini tidak memberi efek jera bagi oknum-oknum.
Vonis maksimal itulah yang telah dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau yang menangani banding kasus penggelapan barang bukti narkotika di Polresta Barelang. Hakim Ketua Majelis H Ahmad Shalihin dan anggotanya, Bagus Irawan dan Priyanto, menjatuhkan vonis mati bagi mantan Kasat Narkoba Satria Nanda dan Kanit Satresnarkoba Shigit Sarwo Edhi.
Vonis itu sesuai dengan tuntutan jaksa dan lebih berat dari putusan hukuman seumur hidup yang sebelumnya dijatuhkan Pengadilan Negeri Batam. Vonis mati bagi Satria dan Shigit juga menegaskan adanya fakta konkret kejahatan mereka.
Baca juga: Peredaran Narkoba di Selayar Dikendalikan Narapidana |