1 May 2024 23:09
Salah satu titik lemah dalam sistem pemerintahan di satu dekade ini ialah kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Sejumlah lubang pemberantasan korupsi bukannya ditutup, tapi seperti dibiarkan makin menganga.
Negara ini jelas masih gagal menjalankan amanat reformasi 1998. Korupsi yang menjadi akar kemiskinan di negeri ini masih mendapat tempat. Merujuk pada laporan Transparency International pada Januari lalu, nasib pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan. Hal itu tergambarkan dari stagnannya skor indeks persepsi korupsi (IPK) pada tahun 2023.
Dari skala nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih), Indonesia mendapat skor 34, sama seperti tahun sebelumnya. Meski skornya tak ada kemajuan, peringkat Indonesia dalam pemberantasan korupsi justru melorot, dari peringkat 110 pada 2022 menjadi 115 pada 2023.
Berdasarkan data lembaga itu, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada 2014. Artinya, hampir sepuluh tahun pemberantasan korupsi jalan di tempat. Pendek kata, penindakan jalan terus, korupsi gak ada matinya.
Pertanyaannya, mengapa korupsi bisa tetap lestari di negeri ini? Pertanyaan ini tentunya mudah sekali dijawab, karena tak adanya hukuman yang bikin kapok pelaku korupsi. Kondisi di negeri ini berbeda jauh dengan Tiongkok. Sejak Zhu Rongji dilantik jadi Perdana Menteri Tiongkok pada 1998, korupsi di 'Negeri Tirai Bambu' menurun drastis.
"Siapkan 100 peti mati untuk para koruptor, dan gunakan 99 peti itu, sisakan 1 peti untuk saya bila saya korupsi," begitu ucapan Zhu Rongji saat dilantik.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia memang masih menemui jalan panjang. Selain masih adanya perdebatan pro dan kontra soal hak hidup manusia, pengadilan kita pun belum sepenuhnya bersih dari virus korupsi.
Karena itu, menjadi angin segar saat Presiden Jokowi mengirim Surat Presiden kepada DPR pada 4 Mei 2023 silam, agar RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana segera dibahas DPR bersama pemerintah. Namun, hampir setahun berselang, RUU itu tak kunjung disahkan DPR.
DPR yang merupakan ujung tombak suara rakyat justru menaruh draf RUU itu di dalam laci pimpinan. Salah satu elite politik di Komisi III DPR bahkan berdalih dirinya masih menunggu instruksi dari ketua partai soal RUU itu.
Fakta-fakta itu jelas menunjukkan hasrat pengelola negeri ini yang masih belum mau lepas dari korupsi. Sama halnya dengan vonis hukuman mati, RUU Perampasan Aset jika disahkan bak palu gada bagi koruptor. Palu gada ini bisa menyeret para pejabat publik dan keluarganya jadi miskin semiskin-miskinnya.
Pasalnya, RUU itu menyasar ke kekayaan yang diduga dimiliki secara tidak sah. Bukan cuma kekayaan yang didapat dari korupsi, tapi juga kejahatan lain yang berdimensi ekonomi seperti penghindaran pajak, perdagangan orang, penipuan, serta penggelapan dan perusakan lingkungan.
Karena itu, jika DPR sampai saat ini masih menaruh RUU itu di dalam laci, jangan salahkan bila publik curiga bahwa perang melawan korupsi masih setengah hati. Bisa pula RUU itu sengaja tak kunjung dibahas karena keanggotaan DPR periode sekarang akan segera berakhir, biar penerusnya yang mengawal 'bola panas' itu mulai Oktober nanti. Tapi, apa pun alasannya, jika penjeraan tidak kunjung tersistematisasi, kita akan terus menyaksikan korupsi jadi menu sehari-hari.