Tingkah laku organisasi masyarakat (ormas) berkedok premanisme menjadi sorotan belakangan ini. Mereka kerap meminta jatah proyek terhadap sejumlah perusahaan. Masyarakat bertanya mengapa mereka masih tetap eksis.
Sosiolog Imam Prasodjo memandang bahwa hal ini merupakan warisan dari perjalanan sejarah panjang ormas di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa ormas-ormas pada awal kemerdekaan sejatinya lahir dari semangat perjuangan dan memiliki misi sosial yang kuat. Namun, perkembangan pascareformasi menunjukkan pergeseran fungsi.
“Ormas itu dulu adalah garda rakyat, pejuang. Tapi sekarang, banyak ormas justru mengandalkan cara-cara lama, seperti berseragam militer. Padahal sudah tidak relevan dengan iklim demokrasi hari ini,” kata Imam, dikutip dari Metro Siang Metro TV, Rabu, 21 Mei 2025.
Imam menyoroti bahwa banyak ormas yang awalnya terbentuk dengan niat baik kini justru kehilangan misi sosialnya. Malah lebih fokus mencari penghasilan organisasi.
“Kalau ini dibiarkan, mereka bisa terus memperluas pengaruh dan bahkan mempersenjatai diri. Ini bisa kontraproduktif bagi negara,” katanya.
Imam menilai, bahwa keberadaan ormas-ormas ini kerap menunjukkan adanya relasi kuasa informal yang justru bisa menyaingi kekuasaan negara. Ia mencontohkan kondisi ekstrem seperti di Yaman, di mana kelompok milisi, seperti
Houthi, awalnya tumbuh dari organisasi informal yang kemudian mempersenjatai diri.
“Saat kelompok ini mulai berseragam militer, menghimpun dana sendiri, dan punya kekuatan sosial, mereka bisa menjadi ancaman nyata bagi negara. TNI dan Polri bisa kehilangan kendali jika kekuasaan informal ini tumbuh terus,” katanya.
Masyarakat Bisa Ambil Alih
Kondisi menjadi makin rawan ketika masyarakat merasa negara absen. Jika negara tidak bersikap, masyarakat bisa membentuk kelompok sendiri untuk melakukan perlawanan.
"Ini sudah terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Bali, hingga Kalimantan. Jika tak dikendalikan, ini bisa berujung
bloodshed, pembunuhan massal yang tidak terkendali,” kata Imam.
Imam menyarankan agar negara segera melakukan transformasi. Ormas-ormas yang terlanjur memakai simbol militer harus diarahkan kembali ke kegiatan produktif. “Wajah militerik harus diubah. Kalau anak muda, bisa lewat
pendidikan Pramuka. Kalau yang dewasa, aktivitasnya harus diarahkan ke sosial, bukan jadi
debt collector atau alat kekuasaan,” ungkapnya.
Solusi: Mapping dan Transformasi Bukan Represi
Bagi Imam, solusi bukanlah dengan kekerasan balik. Harus dilakukan
mapping, menggali profil ormas tersebut, dari pimpinannya hingga anggota dan siapa relasi dari pimpinan ormas tersebut.
"Kalau memang sudah jadi perpanjangan tangan kekuasaan politik, hentikan itu. Jangan jadikan mereka alat politik karena akan sulit ditertibkan nantinya,” katanya, tegas.
Fenomena ini menjadi peringatan bahwa modernisasi negara tidak cukup hanya dengan demokrasi prosedural. Namun, juga perlu penataan kuasa informal yang sering kali bergerak di luar kendali hukum.
(Tamara Sanny)