Persoalan klasik dari Pemilu ke Pemilu tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold) memasuki babak baru usai Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ambang batas parlemen 4% pada Pemilu 2029 mendatang.
MK menilai ketentuan parliamentary threshold sebesar 4% suara sah nasional dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu dan melanggar kepastian hukum yang telah terjamin konstitusi. Perintah MK tersebut tidak berlaku surut sehingga baru berlaku untuk Pemilu Legislatif (Pileg) 2029 mendatang.
Keputusan resmi penghapusan ambang batas parlemen merupakan gugatan dari Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang memang sudah lama mempersoalkan ketentuan parliamentary threshold.
"Petitum Kami itu sebenarnya sederhana saja, Kami minta agar penentuan ambang batas parlemen itu angkanya dilakukan secara akuntabel, rasional dan terukur, bukan ujuk-ujuk menghasilkan angka," jelas Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.
Putusan MK ini tak bisa dipandang sebelah mata dan harus dicermati secara teliti, mengingat Pemilu 2024 baru saja usai dan sangat berpotensi untuk menjadi Pemilu 2029 mendatang sebagai ajang pertempuran partai politik untuk mempertahankan kekuasaannya di Senayan.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD mendukung putusan MK yang menghapus ambang batas parlemen 4% di 2029.
Bagi partai politik tentu keputusan ini akan menjadi lebih produktif, terutama terkait dengan semangat Undang-Undang Tentang Pemilu. Sebab ketentuan soal ambang batas parlemen memang memiliki tujuan dan dampak nyata terhadap penyederhanaan partai politik di Senayan.
Pakar Hukum Tata Negara,
Zainal Arifin Mochtar juga mendukung putusan MK tentang penghapusan ambang batas parlemen 4%. Ia menegaskan ke depan perlu diatur rumusan parliamentary threshold berdasarkan itung-itungan perolehan suara dan konversi ke kursi DPR guna mendukung proses penyederhanaan partai atau perbaikan sistem kepartaian atau kepemiluan.
Jauh-jauh hari Perludem mempersoalkan norma Pasal 414 Ayat 1 Undang-Undang Pemilu sepanjang frasa paling sedikit 4?ri jumlah suara sah secara nasional. Perludem menyebut ambang batas parlemen ini adalah suatu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.
Ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 Ayat 2 Undang-Undang Pemilu yang mengatur bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota harus dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Kini persoalan klasik ambang batas parlemen jadi bola panas. Terlebih dalam putusannya MK tidak memberikan angka konkret besaran parliamentary threshold.
Tentu pekerjaan berat bagi DPR untuk kembali merumuskan besaran ambang batas parlemen untuk Pemilu 2029 mendatang, dengan terlebih dahulu merevisi Undang-Undang Pemilu.
Meski masih berlaku 5 tahun mendatang, harus ada kejelasan tentang syarat-syarat lain dalam penentuan ambang batas parlemen.
Bahkan dengan alasan penyederhanaan partai politik ke depan harus ada kajian lebih rinci tentang besaran ambang batas parlemen yang diatur oleh Undang-Undang Pemilu. Dengan kata lain meski dengan alasan penyederhanaan partai politik, namun tidak serta merta parpol baru bisa dengan gampang masuk ke parlemen.