Sepanjang tahun ini, sedikitnya tujuh hakim di Tanah Air harus menjalani proses hukum. Mereka yang mestinya berfungsi sebagai pemberi keadilan, malah memain-mainkan keadilan.
Tiga di antara tujuh hakim itu terjerat kasus dugaan suap dengan nilai total Rp4,67 miliar untuk memberikan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari kasus penyiksaan yang menewaskan kekasihnya, Dini Sera Afrianti pada 4 Oktober 2023.
Empat hakim lainnya diduga menerima uang terkait vonis lepas (onstlag) pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit (CPO) di PN Jakarta Pusat. Mereka diduga menerima bahkan menegosiasikan uang dari korporasi kelapa sawit.
Awalnya, tiga korporasi menyediakan Rp20 miliar bagi para hakim. Setelah proses tawar-menawar, untuk empat orang yang bertugas sebagai wakil Tuhan itu akhirnya mendapatkan sekitar Rp30,4 miliar. Pengakuan hakim nonaktif Ali Muhtarom bahwa ia telah menerima uang suap senilai Rp6,2 miliar untuk memberikan vonis lepas pada perkara itu jelas menjadi noda hitam pekat bagi dunia peradilan.
Muhtarom menyampaikan itu saat diperiksa sebagai saksi mahkota pada sidang kasus suap yang menyeret eks Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan tiga terdakwa lainnya, pekan lalu.
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan telah menerima suap dengan total nilai mencapai Rp 40 miliar. Kejadian itu hanya menambah catatan hitam lembaga peradilan. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sejak 2011 hingga 2024 terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Adapun berdasarkan penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga 2025, sebanyak 31 hakim telah terjerat kasus. Angka-angka itu pun menempatkan hakim di posisi terbanyak penegak hukum yang bermasalah. Setelah itu, ada pengacara dengan 19 orang, jaksa sebanyak 13 orang, dan polisi sebanyak 6 orang.
Sungguh miris dan mengkhawatirkan, ketika fakta menunjukkan bahwa hakim yang merupakan penjaga integritas peradilan, justru yang paling dipersoalkan integritasnya. Hakim yang dipercaya sebagai wakil Tuhan, malah menjadi mafia peradilan dan berselingkuh dengan pelaku kejahatan.
Padahal, negara telah amat memuliakan posisi hakim dengan memberikan kebebasan yang tidak bisa dikurangi oleh kekuasaan apa pun. Pengawasan hanya bisa menjangkau pada persoalan pelanggaran etik. Adapun teknis yudisial sepenuhnya diserahkan kepada hakim dalam menangani perkara.
Namun, itu juga memdatangkan masalah baru. Wilayah etis yang diawasi saja masih menyisakan banyak lubang. Apalagi untuk wilayah yang tidak bisa dicampuri. Maka, tidak mengherankan bila 'keberanian' sebagian hakim untuk memainkan teknis perkara kian menyala.
Padahal, kebebasan itu diberikan dengan harapan akan membuat hakim mampu dan mau memutusan perkara secara independen, benar, dan adil. Sayangnya, kekuasaan yang dimiliki itu justru dijadikan celah oleh sebagian hakim untuk memainkan vonis. Adagium bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan pasti korup pun masih benar adanya.
Kebebasan dalam membuat keputusan yang merupakan kewenangan absolut bagi hakim justru menjadi celah untuk berbuat culas. Kekuasaan absolut itu justru membuka peluang pengambilan vonis berdasarkan hukum pasar ketimbang pasal.
Maka, persoalan utama tetaplah pada integritas dan moralitas hakim. Sebagaimana perumpamaan yang pernah diungkapkan Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto bahwa hakim memang tidak bisa dianggap sebagai malaikat semua. Namun, itu jangan juga menjadikan hakim sebagai setan semua.
Menjadi hakim haruslah bersedia untuk memilih antara jalan kemaslahatan dan terkena sanksi oleh MA atau diambil penegak hukum. Menggantungkan asa pada moralitas dan integritas dari lebih 8.700 hakim sama saja dengan harap-harap cemas. Negara harus bisa menghadirkan sistem yang membuat jera para koruptor, termasuk hakim.
Apalagi, vonis ringan terhadap koruptor di Indonesia bukanlah hal baru. Setelah mendapat vonis ringan, para koruptor juga sering mendapat pengurangan hukuman berupa remisi.
Memutus mata rantai rendahnya integritas dan moralitas pengadil harus dengan sistem yang ketat, yang menggaransi integritas dan moralitas. Salah satunya ialah memastikan sistem penjeraan bagi hakim yang nakal secara jelas dan dijalankan dengan keras. Jangan biarkan negeri ini terus digerogoti oleh tingkah laku para pengadil yang bukan cuma gagal menegakkan keadilan, melainkan malah merobohkannya.