KABAR baik datang dari Kantor Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga pemerintah nonkementerian itu menyebutkan tingkat kemiskinan Indonesia sampai September 2024 adalah 8,57%, atau turun sebesar 1,16 juta menjadi 24,06 juta orang bila dibandingkan dengan Maret 2024 (25,22 juta orang).
Angka 1,16 juta tentu jumlah yang terbilang besar. Kalau dianalogikan, totalnya hampir dua kali lipat dari keseluruhan penduduk Kota Surakarta, Jawa Tengah, yang berkisar 586,17 ribu jiwa. Oleh karena itu, kita sangat gembira dengan banyaknya rakyat Indonesia yang tidak lagi masuk kategori miskin.
Betapa indahnya jika ada lebih banyak orang bisa memiliki kehidupan yang layak, ketika angka-angka kemiskinan yang semula mengimpit, perlahan-lahan berkurang. Apalagi BPS menyebutkan ini merupakan pertama kalinya tingkat kemiskinan Indonesia turun ke kisaran 8%.
Kita berhak gembira mendengar kabar baik dari BPS itu. Akan tetapi, kegembiraan itu harus disertai dengan kesadaran bahwa angka-angka itu mungkin hanya sebagian kecil dari cerita besar yang tersembunyi di baliknya.
Apalah arti 1,16 juta penduduk Indonesia tidak lagi miskin versi BPS jika ternyata dalam realitasnya mereka masih saja mati-matian dalam menyediakan sandang yang layak, pangan yang cukup, dan rumah atau papan yang aman.
Bukan tidak mungkin penurunan jumlah penduduk miskin disebabkan Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut. Kondisi itu terjadi karena berbagai penurunan harga mulai dari Mei hingga September 2024.
Selain penurunan harga, faktor lain yang memungkinkan penurunan jumlah penduduk miskin ialah berbagai program bantuan dari pemerintah. Publik perlu ingat bahwa pada Juni 2024 terjadi pencairan bantuan sosial (bansos), mulai dari pencairan beras 10 Kg, Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Hal lain dari penurunan tingkat kemiskinan yang tidak bisa membuat kita gampang berpuas diri ialah angka ketimpangan yang ditunjukkan melalui rasio gini. Terjadi peningkatan rasio gini, kendati tipis, sehingga membuat jurang antara si miskin dan kaya semakin lebar.
Pada bulan September 2024 angka rasio gini menjadi 0,381, dari Maret 2024 yang sebesar 0,379. Semakin tinggi nilai rasio gini, maka semakin lebar ketimpangan. Ketimpangan di perkotaan lebih tinggi ketimbang di perdesaan.
Dari bahan pemaparan BPS itu, Jakarta disebut sebagai wilayah dengan ketimpangan pengeluaran penduduk tertinggi di Indonesia. Tantangan yang besar untuk mengatasi ketimpangan itu membutuhkan terobosan dan fokus bersama. Upaya keras mendongkrak daya beli dan ikhtiar mewujudkan praktik perekonomian yang inklusif, tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Jangan sampai kebahagiaan kita hanya bersandar pada statistik, padahal yang sesungguhnya terjadi di kehidupan nyata tidak sesuai dengan apa yang kita rayakan. Karena itu, jangan sampai kita terlena dengan angka belaka.