RILIS Gedung Putih atau White House Amerika Serikat (AS) yang menyatakan Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke AS, membuat terkejut. Adalah wajar bagi publik untuk terkejut dan bingung menyikapi poin yang disebut-sebut sebagai salah satu syarat pemangkasan tarif resiprokal AS dari 36% menjadi 19% itu.
Apalagi pemerintah, terkhusus para delegasi negosiasi dagang Indonesia dengan AS, tidak ada yang menyampaikan permintaan tersebut.
Selama ini, wacana yang berkembang cuma seputar besaran tarif impor 19?gi produk Indonesia ke AS.
Sedangkan di sisi produk AS, tidak akan dikenakan tarif apa pun atau 0% untuk masuk ke Indonesia. Indonesia juga disyaratkan mengimpor beragam produk dari AS dan juga memberikan akses kepada negara 'Paman Sam' itu.
Dari keterangan resmi Gedung Putih yang dirilis 22 Juli, ternyata Indonesia juga akan memberikan kepastian terkait dengan kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke AS melalui pengakuan bahwa AS merupakan negara atau yurisdiksi yang memberikan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu. Tetapi, tidak ada penjelasan asal-muasal pembahasan terkait dengan pemindahan data pribadi itu.
Publik akhirnya bisa agak bernapas lega ketika Presiden Prabowo Subianto memastikan bahwa negosiasi terus berjalan terkait dengan pemindahan data itu. Dengan demikian, pertukaran data yang masuk dalam bagian penghilangan rintangan untuk perdagangan digital masih dalam tahap finalisasi.
Adapun Menteri Komunikasi dan Informasi Digital Meutya Hafid menegaskan kerja sama dagang antara RI dan AS bukan berarti membuka keran bebas transfer data, melainkan mendorong tata kelola data pribadi yang transparan dan akuntabel. Pengiriman data pribadi hanya diperbolehkan dalam konteks yang sah dan terbatas, serta berada di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia.
Selain itu, pengaliran data lintas yurisdiksi sebenarnya bukanlah hal baru. Bahkan, sebenarnya sudah lazim berlangsung di negara-negara di dunia dalam era konektivitas digital. Sedangkan Indonesia tetap menempatkan pelindungan hukum nasional sebagai fondasi utama.
Ketegasan pemerintah Indonesia menghadapi AS tentu menjadi kabar baik. Kerja sama dengan negara lain tentu memperhitungkan prinsip manfaat dan mudaratnya.
Dalam prinsip dagang, sepanjang menguntungkan, dilanjutkan. Kalau merugi, tinggalkan saja sembari mencari sumber lain. Jangan sampai kesepakatan dagang malah menimbulkan masalah dalam hal perlindungan hak individu serta kedaulatan hukum dan digital nasional.
Masyarakat dunia tentu sudah mengetahui kalau lembaga negara milik AS juga kerap kebobolan "hacker". Ditambah lagi, AS tidak mengenal undang-undang tentang perlindungan data pribadi sebagaimana Indonesia dengan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP) yang ditetapkan pada 17 Oktober 2022.
Sudah sepatutnya dan seharusnya, negara melindungi, mengatur, dan memastikan aktivitas digital sesuai dengan hukum nasional. Selain berupa undang-undang, Indonesia juga telah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang mengatur mekanisme dan prasyarat pengiriman data pribadi ke luar yurisdiksi Indonesia.
Pemerintah tinggal mengacu serta menjadikan aturan itu sebagai syarat negosiasi dengan AS. Dan, secara paralel, pemerintah harus menyegerakan pembentukan lembaga pelindungan data pribadi yang tidak kunjung terbentuk. Padahal, lembaga itu semestinya dibentuk paling lambat bersamaan dengan berakhirnya masa transisi UU PDP pada 17 Oktober 2024.
Di tangan lembaga yang kelak bertransformasi menjadi badan tersendiri itulah kunci dalam penegakan kepatuhan standar dan kewajiban pelindungan data pribadi dari pengendali dan prosesor data ditetapkan.
Memang sudah terlambat. Tapi, demi melindungi hak warga negara, tidak mengapa terlambat daripada tidak sama sekali.