Pada Sabtu, 12 April 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan lepas atau onslag perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Keempat tersangka adalah Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG), serta dua advokat yakni Marcela Santoso dan Arianto.
Dugaan suap terhadap MAN diterima saat Arif masih menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat. MAN diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar untuk mempengaruhi susunan majelis hakim dan memastikan bahwa tiga perusahaan besar yakni Wilmar Group, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup dinyatakan bukan sebagai pelaku tindak pidana alias onslag.
Adapun susunan majelis hakim yang mengadili korupsi ekspor minyak sawit mentah dengan terdakwa korporasi ini adalah ketua majelis hakim Djuyamto, dengan anggota Ali Muhtarom, dan Agam Syarif Baharuddin, serta panitera Pengganti Agnasia Marliana Tubalawoni.
Hakim membebaskan para terdakwa karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Atas putusan tersebut, Kejagung mengajukan kasasi.
Mafia Kasus dalam Ingatan Publik
Kasus ini menambah panjang kasus suap yang melibatkan hakim belum hilang dari ingatan publik. Kala itu heboh kasus tiga hakim PN Surabaya Erin Tuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul yang ditangkap oleh Kejagung karena diduga menerima suap untuk memvonis bebas terdakwa Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan yang berujung pada kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti.
Dari pengembangan kasus itu, terungkap kasus Zarof Ricar pada 24 Oktober 2024 Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan di rumah Zarof Ricar di kawasan Senayan, Jakarta. Dalam penggeledahan ini ditemukan uang senilai Rp920,9 miliar serta emas batangan seberat 51 kilogram yang nilainya mencapai Rp75 miliar.
Penyidik menduga uang dan emas itu merupakan hasil dari praktik pengurusan perkara yang dilakukan Zarof sejak tahun 2012 hingga 2022.
Temuan itu menjadi contoh nyata bagaimana mafia peradilan beroperasi dari dalam sistem hukum. Dari kasus Zarof Ricar dan kasus lainnya, cara kerja mafia peradilan umumnya melibatkan peran panitera sebagai makelar kasus.
Zarof Ricar berperan sebagai perantara antara pihak berperkara dan hakim. Ia menghubungkan pengacara atau pihak yang ingin mengamankan putusan dengan oknum hakim.
Ia menerima suap dan mengatur agar putusan sesuai permintaan dalam kasusnya.
Zarof menerima uang terkait pengurusan perkara di
Mahkamah Agung (MA). Jalur uang suap biasanya tidak diberikan langsung ke hakim melainkan melalui panitera atau pengacara koneksi atau orang kepercayaan seperti sopir atau asisten pribadi.
Nominal ditentukan berdasarkan tingkat perkara modus operandi mafia peradilan. Di antaranya jual-beli putusan, rekayasa penetapan majelis hakim, penundaan putusan untuk tawar-menawar uang suap, manipulasi administrasi perkara, dan penyusupan orang luar ke dalam proses peradilan.
Dampak dari mafia peradilan terbukti menghancurkan kepercayaan publik terhadap hukum, melanggengkan ketidakadilan, dan membiarkan pelaku kejahatan bebas.
Selain itu mafia peradilan juga menyuburkan korupsi dalam bentuk lain karena hukum jadi alat dagang. Kasus-kasus itu mencerminkan tantangan serius dalam menjaga integritas lembaga peradilan di Indonesia penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi di lingkungan peradilan.