Bedah Editorial MI: Menekuk Dalang Lewat Kawan Keadilan

24 June 2025 09:07

Presiden Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu. Singkatnya, PP yang diteken di pengujung pekan itu akan menjadi petunjuk teknis pemberian penghargaan kepada tersangka, terdakwa, dan terpidana yang mau bekerja sama mengungkap sebuah kasus dengan penegak hukum.

Bentuk penghargaan itu mulai dari peringanan hukuman hingga pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan yang mau menjadi "justice collaborator" atau kawan keadilan. Terbitnya PP tersebut tentu menjadi angin segar bagi upaya penegakan hukum. 

Khusus dalam kasus korupsi, PP itu tidak sekadar jadi angin segar, tapi juga bisa jadi palu godam bagi "mastermind" atau dalang korupsi. Maklum, dalam kebanyakan kasus korupsi, polisi dan jaksa kerap kesulitan menyeret dalang korupsi ke meja pengadilan. 

Pasalnya, dalang korupsi itu bukanlah orang sembarang. Mereka ialah orang-orang yang berkuasa, pemegang akses ke kekuasan, termasuk akses ke keuangan negara. Begitu besarnya kekuasaan si dalang, banyak tersangka kasus korupsi yang tak berani menyeret nama mereka dengan alasan keselamatan diri dan keluarga. 

Alhasil, polisi dan jaksa hanya mampu menangkap koruptor di tataran pelaksana di lapangan, tak mampu menyentuh si dalang yang merencanakan hingga membahas anggaran yang akan ditilap. Di Amerika Serikat pada 1931 silam, setelah bertahun-tahun sulit menyeret Al Capone ke penjara, konsep "justice collaborator" akhirnya digunakan polisi dan jaksa untuk menangkap bos mafia yang teramat berkuasa itu. Dengan memanfaatkan pengakuan dan kerja sama akuntan Al Capone, penegak hukum AS akhirnya berhasil membongkar kejahatan bos mafia yang amat ditakuti itu.
 

Baca juga: Presiden Prabowo Sahkan PP untuk Justice Collaborator

Di dalam negeri, di kurun waktu 2014-2017, Muhammad Nazaruddin yang mendapat status "justice collaborator" akhirnya membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus megakorupsi Wisma Atlet Hambalang dan KTP elektronik. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hingga Ketua DPR Setya Novanto akhirnya mendekam di bui berkat kerja samanya itu.

Tanpa kerja sama Nazaruddin, sulit rasanya bagi KPK untuk bisa menyentuh dua pemegang kendali kekuasaan itu. Bisa bertahun-tahun lamanya dua kasus korupsi itu dituntaskan.

Saat itu, UU No 31/2014 yang mengatur perlindungan saksi dan korban menjadi payung hukum pemberian status "justice collaborator" bagi Nazaruddin. Hadirnya PP No 24/2025 tentu kian menguatkan pelaksanaan konsep "justice collaborator" itu. Dengan aturan yang lebih teknis, pengungkapan kasus korupsi diharapkan akan berjalan lebih cepat, bahkan bisa menyentuh pemegang kekuasan yang menjadi "mastermind".

Dengan iming-iming keringanan hukuman, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, atau pemenuhan hak narapidana lainnya, para pelaku kejahatan diharapkan berani mengungkap siapa bos mereka. Meski jadi angin segar bagi sistem penegakan hukum di Indonesia, konsep "justice collaborator" hanya dapat berjalan ideal jika digerakkan oleh penegak hukum yang ideal pula. 

Tentu tak ada gunanya menyapu lantai yang kotor dengan sapu yang juga dipenuhi kotoran. Karena itu, diperlukan standar kualifikasi yang ketat dan terbuka agar status "justice collaborator" tidak disalahgunakan. Status itu tak boleh diobral dengan murah sehingga berpotensi memunculkan "justice collaborator" palsu demi mendapatkan keringanan hukuman.

Di situlah perlunya kontrol publik guna menjamin terbukanya proses peradilan dan akuntabilitas penegak hukum. Tanpa adanya kontrol publik, "justice collaborator" bisa jadi barang dagangan para penegak hukum yang kotor demi meraih keuntungan pribadi. Kita tak ingin keluar dari mulut singa masuk mulut buaya. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)