Kontroversi Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal 1998

19 June 2025 16:34

Jakarta: Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 menuai kecaman luas. Dalam pernyataannya, Fadli menyebut kejadian itu sebagai "rumor" yang belum terbukti secara konkret. 

Komentar ini langsung bertabrakan dengan laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan pengakuan Presiden ketiga RI, BJ Habibie, yang pernah mengakui adanya kekerasan seksual dalam tragedi tersebut.

Berikut pidato lengkap BJ Habibie yang pernah mengakui soal adanya tindakan kekerasan seksual pada Mei 1998. Pernyataan ini disampaikan BJ Habibie pada pidato 14 Agustus 1998 di DPR.

"Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga di bumi indonesia panda umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," ujar BJ Habibie. 

Respons publik pun cepat dan keras. Sejumlah aktivis HAM, termasuk Amnesty International Indonesia, menilai pernyataan itu bukan sekadar keliru, tapi berpotensi menjadi bagian dari upaya sistematis membelokkan sejarah. 
 

Tonton Juga: Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998 Dikecam, Istana dan Amnesty Buka Suara

Kecurigaan ini makin kuat karena pernyataan kontroversial tersebut muncul di tengah proyek penulisan ulang buku sejarah Indonesia yang tengah digarap Kementerian Kebudayaan.

Beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan pelanggaran HAM masa lalu dilaporkan hilang dari naskah buku tersebut. Di antaranya Tragedi Trisakti, Semanggi I & II, penghilangan paksa aktivis, dan pemerkosaan massal 1998. Padahal, peristiwa-peristiwa itu selama ini tercatat dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dan menjadi bagian penting dari sejarah reformasi.

Situasi ini memunculkan pertanyaan: apakah yang dilakukan pemerintah saat ini adalah penulisan sejarah atau justru penyaringan sejarah?

Di sisi lain, pemisahan antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam struktur kabinet Prabowo-Gibran juga menambah kekhawatiran. 

Banyak pihak mengingatkan bahwa kebudayaan, termasuk sejarah harus tetap terintegrasi dengan pendidikan agar nilai-nilai bangsa bisa ditransmisikan secara utuh ke generasi muda. Tanpa itu, memori kolektif bangsa bisa terkikis dan tergantikan oleh narasi yang dikendalikan kepentingan politik.

Sejarah bukan milik segelintir elite. Ia adalah milik semua orang. Jika sejarah yang sudah terang mulai dibengkokkan, pertanyaannya kini: kita mau jadi bangsa yang seperti apa?

Jangan lupa tonton MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.

(Zein Zahiratul Fauziyyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Christian Duta Erlangga)