Norwegia dan Uni Emirat Arab Berminat Beli Kredit Karbon Indonesia

26 November 2024 16:15

Dalam KTT Iklim COP29 yang berjalan selama dua pekan di Baku, Azerbaijan, perdagangan karbon menjadi salah satu fokus Indonesia. Dalam pembukaan Pavilun Indonesia, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo mengatakan Indonesia punya ratusan juta ton kredit karbon untuk dijual.

"Kami telah memverifikasi 577 juta ton karbon yang ingin kami persembahkan pada dunia. Dan Indonesia di bawah Menteri LHK sedang menyelesaikan penilaian 600 juta ton karbon tambahan yang kami harapkan dapat ditawarkan dalam beberapa bulan ke depan," ungkap Hashim Djojohadikusumo dalam KTT Iklim COP29 di Azerbaijan.

Di Azerbaijan, Indonesia mengantongi komitmen pembelian kredit karbon dari Norwegia dan Uni Emirat Arab.

Dalam perdagangan karbon sebuah negara atau perusahaan dapat membeli apa yang disebut sebagai kredit karbon, untuk mengoffset atau mengkompensasi emisi yang dihasilkan negara atau perusahaan tersebut. Dan kredit karbon ini disediakan oleh negara-negara yang dianggap mampu menyerap karbon, seperti Indonesia.
 

Baca juga: Hasil COP29 Kecewakan Negara Miskin dan Berkembang

Pemerintah Indonesia melihat perdagangan karbon sebagai salah satu cara untuk mencapai target pengurangan emisi. Namun perdagangan karbon tidak lepas dari kritik. Organisasi lingkungan Walhi menilai perdagangan karbon tidak mengatasi sumber masalah. 

Untuk membangun sistem yang baik, pemerintah mengatakan akan fokus pada transparansi penghitungan, pelaporan dan verifikasi (MRV) dan menghindari hitung ganda.

Namun pengamat mengingatkan perdagangan karbon harus tetap diikuti pengurangan emisi yang sesungguhnya. "Kalau hanya membeli carbon credit, kan mereka tetap beremisi nih. Cuman misalnya mereka beremisi 1 ton beli 1 ton kredit dari Indonesia, 1 ton lagi beli 1 ton kredit dari Indonesia. Kapan mereka mengurangi emisi kan, mereka tetap beremisi terus," jelas pengamat Climate Policy Initiative, Tiza Mafira.

Sementara COP29 sendiri ditutup dengan komitmen negara-negara kaya yang akhirnya menyetujui pembiayaan US$300 miliar bagi negara-negara berkembang. Namun angka ini dianggap terlalu kecil, dibandingkan perkiraan sejumlah pengamat yang menaksir US$1,3 triliun dolar per tahun.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggie Meidyana)