Bedah Editorial MI: Transparansi Penting, Pencitraan Jangan

26 December 2025 08:47

Belakangan ini, publik disuguhi pemandangan yang tidak biasa dari aparat penegak hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) tampak berlomba memamerkan tumpukan uang tunai hasil sitaan dalam berbagai konferensi pers. Alih-alih menumbuhkan kepercayaan, praktik ini justru berpotensi memunculkan kesan pencitraan yang berlebihan.

Teranyar, Kejagung memamerkan uang sitaan senilai Rp6,6 triliun dalam konferensi pers pada Rabu (24/12). Uang pecahan Rp100.000 itu ditata sedemikian rupa hingga memenuhi lobi Gedung Jampidsus. Dana tersebut berasal dari hasil penindakan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) serta perkara ekspor CPO dan gula, yang terdiri atas penagihan denda administrasi Rp2,3 triliun, penyelamatan kerugian negara kasus CPO Rp3,7 triliun, dan perkara gula Rp565 miliar.

Kejagung memang menjadi institusi yang paling menonjol dalam praktik memamerkan uang sitaan berskala besar. Sebelumnya, lembaga ini juga menampilkan uang titipan Rp2 triliun dalam perkara korupsi ekspor CPO, yang disebut sebagai bagian dari total aset lebih dari Rp11,8 triliun yang diamankan. Kepolisian pun tak ketinggalan. Pada 25 September 2025, Bareskrim Polri memamerkan uang sitaan Rp204 miliar dari kasus pembobolan rekening dormant BNI. KPK, yang sebelumnya hanya menampilkan barang sitaan non-tunai, mulai mengikuti pola serupa dengan memamerkan uang rampasan Rp300 miliar pada November lalu.

Kita tentu dapat berbaik sangka. Pameran uang sitaan itu bisa dimaknai sebagai bentuk transparansi kepada publik. Menunjukkan barang bukti merupakan bagian dari proses hukum dan menjadi cara aparat penegak hukum memperlihatkan hasil konkret penindakan terhadap kejahatan yang merugikan negara. Dalam batas tertentu, langkah tersebut dapat dipahami.

 

Namun, ketika yang dipertontonkan adalah uang tunai dalam jumlah fantastis, persoalannya menjadi berbeda. Pertunjukan semacam itu rawan bergeser menjadi ajang pamer dan pencitraan. Apalagi, jika dibandingkan dengan besarnya dana yang digarong koruptor, jumlah yang dipamerkan sebenarnya masih jauh dari memadai. Kerugian negara akibat korupsi diperkirakan mencapai sekitar Rp300 triliun. Angka triliunan rupiah yang ditampilkan di depan kamera dengan mudah kehilangan maknanya jika diletakkan dalam konteks tersebut.

Lebih jauh, pameran uang sitaan berpotensi menutupi persoalan mendasar dalam kinerja penegakan hukum, yakni rendahnya tingkat pemulihan aset. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa keberhasilan aparat dalam merampas kembali aset hasil korupsi baru sekitar 4,8 persen. Artinya, masih terdapat jurang yang sangat lebar antara uang negara yang hilang dan yang berhasil dikembalikan.

Dari sisi lain, praktik ini juga mengandung risiko. Membawa dan menampilkan uang tunai dalam jumlah sangat besar jelas berbahaya dari aspek keamanan dan pengelolaan barang bukti. Belum lagi dampak praktisnya terhadap sistem perbankan, yang harus menyiapkan uang tunai dalam skala triliunan rupiah. Itu sesuatu yang bahkan untuk nominal ratusan juta saja memerlukan pemberitahuan khusus jauh hari sebelumnya.

Penegak hukum seharusnya menghentikan praktik yang berkesan pamer dan lebih mengedepankan substansi. Transparansi tidak harus diwujudkan dengan menumpuk uang tunai di depan publik. Laporan kinerja yang jelas, data pemulihan aset yang akurat, serta konsistensi dalam menjerat pelaku korupsi hingga tuntas jauh lebih bermakna bagi masyarakat. Transparansi memang penting, tetapi pencitraan berlebihan justru dapat menggerus kepercayaan.

(Aulia Rahmani Hanifa)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Gervin Nathaniel Purba)