Sekolah Rakyat, Solusi Pemerataan Pendidikan atau Ancaman Kesenjangan Sosial Baru?

Citra Larasati • 24 July 2025 17:07

Jakarta: Persoalan akses pendidikan bagi masyarakat kelompok ekonomi kurang mampu masih menjadi isu sosial yang belum sepenuhnya tuntas di Indonesia. Menjawab tantangan itu, pemerintah meluncurkan program baru bernama Sekolah Rakyat, yang dirancang sebagai jembatan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.

Pemerintah menggadang-gadang Sekolah Rakyat sebagai langkah nyata untuk memastikan anak-anak dari keluarga kurang beruntung mendapatkan peluang belajar yang setara dengan anak-anak lainnya. Selain gratis, program ini juga menyediakan asupan gizi yang terjamin guna mendukung pertumbuhan sehat dan kecerdasan peserta didik.

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf dalam sebuah kesempatan mengatakan, Sekolah Rakyat adalah bentuk nyata penghormatan bagi orang miskin sekaligus dorongan bagi mereka untuk bangkit dari keterbatasan. Program tersebut dirancang berbeda dari sekolah reguler biasa dengan beberapa keunggulan khusus.

Mengutip laman Medcom.id, terdapat sejumlah perbedaan utama antara Sekolah Rakyat dan sekolah reguler pada umumnya. Mulai dari kurikulum yang diterapkan, rekruitmen guru, peserta didik, lokasi sekolah, hingga keberadaan fasilitas asrama gratis.

Perbedaan Sekolah Rakyat dengan Sekolah Reguler

1. Kurikulum yang Disesuaikan dengan Kebutuhan Siswa

Sekolah biasa menerapkan Kurikulum Merdeka dari Kemendikdasmen. Sementara itu, Sekolah Rakyat mengusung kurikulum nasional dengan tambahan penguatan karakter, guna membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berdaya secara sosial dan emosional.

2. Rekrutmen Guru secara Nasional

Jika sekolah biasa umumnya diisi oleh guru hasil seleksi CPNS atau PPPK, Sekolah Rakyat merekrut tenaga pengajar dari seluruh Indonesia, termasuk relawan pendidikan yang ditugaskan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

3. Peserta Didik dari Kalangan Paling Rentan

Sekolah biasa menerima siswa dari berbagai latar belakang ekonomi. Sebaliknya, Sekolah Rakyat secara khusus melayani anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, sehingga lebih fokus dalam menjawab kebutuhan kelompok tersebut.

4. Lokasi Menjangkau Wilayah Terpencil

Sekolah biasa biasanya berada di kawasan padat penduduk atau wilayah perkotaan. Sementara Sekolah Rakyat dibangun di daerah-daerah yang minim akses pendidikan, menjangkau komunitas-komunitas yang selama ini belum terlayani secara optimal.

5. Fasilitas Asrama Gratis

Berbeda dari sekolah biasa yang tidak menyediakan fasilitas asrama, Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berasrama atau boarding school yang sepenuhnya gratis. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan logistik yang kerap menghalangi siswa dari keluarga tidak mampu untuk terus bersekolah.

Namun, program ini juga menuai kritik. Banyak pihak khawatir Sekolah Rakyat justru akan mempertegas ketimpangan sosial dan meningkatkan eksklusivitas dalam dunia pendidikan.
 
Baca Juga: Mensos Pastikan Fasilitas Sekolah Rakyat Terus Disempurnakan

Dosen Pendidikan Umsida (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo), Dr Dian Rahma Santoso MPd. dalam opininya di laman Umsida mengatakan, sasaran utama dari Sekolah Rakyat adalah anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.  Menurut Dian, golongan masyarakat ini dianggap sebagai kelompok yang selama ini terpinggirkan dalam sistem pendidikan formal.

"Sekolah rakyat pun dipandang sebagai solusi bagi kelompok ini, dengan memberi mereka pendidikan secara cuma-cuma atau dengan biaya yang sangat terjangkau," kata Dian.

Meskipun niatnya baik, kata Dian, pemisahan antara anak-anak miskin yang bersekolah di sekolah rakyat dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri atau swasta umum lainnya juga perlu dicermati. 

"Mengapa? Pendidikan yang dipisahkan seperti ini justru dapat memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi yang ada," tegas Dian.

Anak-anak yang terpisah dalam sekolah rakyat ini mungkin akan merasa terstigma sebagai ‘anak miskin’.  Peserta didik di sekolah Rakyat akan mengalami isolasi yang bisa merugikan perkembangan mental dan sosial mereka.

Pendidikan seharusnya tidak hanya tentang mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi juga tentang menciptakan kesetaraan, membangun rasa percaya diri, dan menghilangkan diskriminasi. 

"Dengan adanya pemisahan yang jelas ini, apakah tujuan untuk menciptakan kesetaraan pendidikan benar-benar tercapai?" tanya Dian.

Masukan dari pihak lain juga muncul, alih-alih membuat sekolah baru, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan anggaran untuk memperbaiki kualitas dan pemerataan sekolah serta guru yang sudah ada. Sebab pendidikan semestinya menjadi alat pemersatu, bukan menciptakan batasan-batasan atau sekat-sekat baru.
 
Baca Juga: Legislator Minta Pemerintah Prioritaskan Sekolah Gratis di Daerah 3T

Meski demikian, jika dijalankan dengan tepat, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi angin segar bagi pendidikan anak-anak kurang mampu. Yang paling penting adalah keberlanjutan dan pendampingan kebijakan inklusif agar program ini tidak hanya berhenti pada pemberian sekolah gratis, tetapi menjadi harapan baru masa depan bagi anak-anak yang selama ini kehilangan kesempatan.

Masyarakat diajak untuk mendukung program ini agar pendidikan di Indonesia semakin merata dan berkualitas bagi semua kalangan. Karena masa depan bangsa sangat bergantung pada generasi muda yang paling membutuhkan akses pendidikan yang layak.

Jangan lupa tonton MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Christian Duta Erlangga)