Bedah Editorial MI - Noda Paripurna Pencawapresan Gibran

6 February 2024 09:18

Lengkap sudah jelaga pelanggaran etika terkait dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Di hulu, putusan Mahkamah Konstitusi yang membukakan jalan bagi Gibran mencalonkan diri terbukti diwarnai pelanggaran etika berat, pun demikian dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menerima pencalonan putra Presiden Joko Widodo itu.

Proses pencalonan Gibran memang di luar kebiasaan dan kewajaran. Dia bisa menjadi kontestan di pilpres lantaran sejumlah keistimewaan. Pertama, dia lolos dari syarat batas usia minimal yakni 40 tahun sesuai ketetapan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan MK yang mengubah norma dengan menambahkan frasa atau berpengalaman menjadi kepala daerah menghamparkan karpet merah buatnya.

Fakta pun tak bisa dibantah bahwa putusan isu bau amis, bahkan busuk. Ketua MK saat itu yang merupakan adik ipar Jokowi sekaligus paman Gibran, Anwar Usman, dinyatakan melakukan pelanggaran etika berat terkait peran sentralnya dalam putusan tersebut. Oleh Majelis Kehormatan MK, dia dipecat.

Di hulu kacau, di tingkat pelaksana begitu pula adanya. Kemarin, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutusakan Ketua KPU Hasyim Asy'ari melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu ihwal pendaftaran Gibran selepas putusan MK. Hasyim ditimpa sanksi peringatan keras terakhir, sementara enam komisioner KPU yakni Idham Holik, August Mellasz, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, dan Parsadaan Harahap mendapat peringatan keras.

Mereka dinyatakan bersalah karena serta merta mengubah peraturan KPU untuk menerima pendaftaran Gibran tanpa konsultasi dengan DPR sebagaimana seharusnya. Dalih mereka bahwa DPR sedang reses terbantahkan, sebab di masa reses rapat dengar pendapat tetap bisa dihelat. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan 7 Peraturan DPR No 1/2020 tentang Tata Tertib.

Terang sudah, KPU menyelenggarakan pemilu dengan serampangan, asal-asalan, centang perenang. Gamblang nian, proses pendaftaran Gibran hingga akhirnya ditetapkan sebagai cawapres cacat etika. Putusan DKPP kian mempertegas betapa tapak kaki presiden itu menuju kontestasi pilpres sarat dengan pengingkaran terhadap etika. Putusan itu semakin mengonfirmasi betapa paripurnanya noda pencawapresan Gibran.

Kita tetap mengapresiasi putusan DKPP terhadap Hasyim Asy'ari dan kawan-kawan, kendati harus kita katakan sanksi buat mereka semestinya lebih berat lagi. Menerima begitu saja pendaftaran anak presiden sebagai cawapres dengan mengabaikan regulasi adalah pelanggaran berat, super berat.  

Apa pun itu, putusan DKPP kian menguatkan betapa buruknya, betapa brutalnya, pemilu kali ini. Tak salah, sangat benar, jika dunia kampus, masyarakat sipil, para aktivis, maupun orang-orang yang masih mengedepankan kewarasan bersikap dan melawan.

Pencalonan kandidat pemimpin bangsa yang sarat dengan pelanggaran etika adalah racun mematikan bagi demokrasi. Ia pantang dibiarkan. Karena pencalonan Gibran tak bisa diubah, ia harus kita sikapi dengan lebih pintar lagi, lebih bijak lagi, dalam menentukan pilihan nanti. 

Bagaimana kita bisa menggantungkan asa kepada pemimpin yang dalam proses menuju kursi kekuasaannya penuh dengan pelanggaran etika? Itulah pesan yang harus selalu diingat hingga di bilik suara.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Nopita Dewi)