Apa arti Slogan ACAB yang Marak Digunakan dalam Diskusi Kasus Sukatani?

Graffiti ACAB. (X)

Apa arti Slogan ACAB yang Marak Digunakan dalam Diskusi Kasus Sukatani?

Riza Aslam Khaeron • 24 February 2025 16:13

Jakarta: Kasus yang menimpa band punk asal Purbalingga, Sukatani, telah memicu perdebatan luas di media sosial. Lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" ditarik dari platform digital karena liriknya dianggap menyinggung institusi kepolisian dan band tersebut diduga dipaksa untuk meminta maaf.

Reaksi keras dari warganet yang merasa Kepolisian menjadi institusi anti-kritik, terutama di X (sebelumnya Twitter), turut membawa kembali istilah "ACAB" dalam diskusi yang mengkritik tindakan aparat terhadap band ini.


Gambar: Tangkapan layar postingan di X. (X)

Reaksi keras dari warganet, terutama di X (sebelumnya Twitter), turut membawa kembali istilah "ACAB" dalam diskusi yang mengkritik tindakan aparat terhadap band ini.

Dalam salah satu unggahan di X pada Kamis, 22 Februari 2025, merespons keras tanggapan dari akun Polri, dengan menyatakan "ACAB" di akhir unggahan, yang merupakan akronim terkenal di gerakan anti-polisi. Istilah ini semakin sering muncul di berbagai cuitan yang mendukung band Sukatani dan mengecam tindakan penarikan lagu mereka dari platform digital.

Apa itu ACAB? Berikut penjelasannya.
 

Sejarah dan Makna ACAB

ACAB merupakan singkatan dari "All Cops Are Bastards," yang berarti "Semua Polisi adalah Bajingan." Istilah ini telah lama digunakan dalam gerakan protes di berbagai negara sebagai ekspresi ketidakpercayaan terhadap institusi kepolisian.

Menurut artikel Vice yang diterbitkan pada 8 Juni 2020, asal-usul frasa "All Coppers Are Bastards" dapat ditelusuri ke Inggris. Kata "copper" adalah istilah slang untuk polisi di Inggris, dan negara ini juga merupakan tempat lahirnya kepolisian modern pada awal abad ke-19.

Kepolisian modern pertama kali dibentuk untuk menangani pemberontakan petani Irlandia dan mengendalikan kelas pekerja yang berpindah ke kota-kota industri.

Lexicographer Eric Partridge dalam bukunya A Dictionary of Catch Phrases menyebut bahwa frasa "All Coppers Are Bastards" telah ada sepanjang abad ke-20 dan telah digunakan oleh kelompok kriminal serta masyarakat kelas pekerja yang merasa tertindas.

Salah satu bukti penggunaannya muncul dalam dokumenter We Are the Lambeth Boys tahun 1958, yang merekam kehidupan kaum muda kelas pekerja di London. Dalam film tersebut, sekelompok pemuda menyanyikan lagu dengan lirik: "I’ll sing you a song, it’s not very long: all coppers are bastards."

Akrab dengan dunia kriminal dan perlawanan terhadap otoritas, istilah ini semakin populer pada 1970-an dan 1980-an melalui gerakan punk. Band punk Oi! asal Inggris, The 4-Skins, merilis lagu "A.C.A.B." pada tahun 1982, yang kemudian diikuti oleh band punk Jerman, Slime.

Lagu-lagu ini membantu menyebarkan istilah ACAB ke seluruh dunia, khususnya di kalangan anak muda dan kelompok-kelompok yang merasa ditekan oleh otoritas.

Selain dalam musik punk, ACAB juga berkembang di kalangan penggemar sepak bola, terutama kelompok ultras. Pada 1960-an dan 1970-an, hooliganisme sepak bola di Inggris terkait erat dengan budaya skinhead, yang juga menggunakan istilah ACAB sebagai bentuk perlawanan terhadap polisi.

Seiring berkembangnya budaya ultras ke berbagai negara, slogan ini pun menyebar secara global.


Foto: Protes BLM dengan slogan ACAB di salah satu plakat. (Gregor Wunsch)

ACAB semakin menonjol dalam gerakan protes setelah kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 di Minneapolis, Amerika Serikat. Floyd tewas setelah seorang polisi bernama Derek Chauvin menekan lehernya dengan lutut selama lebih dari sembilan menit.

Tragedi ini memicu gelombang demonstrasi global menentang kebrutalan polisi dan rasisme sistemik. Selama protes di berbagai kota seperti London, Berlin, dan Paris, slogan "ACAB" banyak terlihat di spanduk, tembok, dan pakaian para demonstran. Graffiti bertuliskan "ACAB" bahkan ditemukan di patung Winston Churchill di London.

Selain itu, gerakan Black Lives Matter (BLM) yang semakin menguat setelah kematian George Floyd juga mengadopsi ACAB sebagai bagian dari narasi perlawanan terhadap aparat penegak hukum yang dinilai represif terhadap komunitas kulit hitam dan minoritas lainnya.

Kampanye ini semakin menyebar melalui media sosial dan aksi-aksi unjuk rasa yang berlangsung selama berbulan-bulan di berbagai negara.
 

ACAB dan Penggunaannya di Indonesia


Gambar: Terduga pelaku kericuhan dan perusak mobil polisi, tahun 2016. (Medcom.id)

Di Indonesia, ACAB mulai dikenal luas melalui gerakan suporter sepak bola dan komunitas punk. Slogan ini kerap muncul dalam aksi protes terhadap kebijakan aparat yang dianggap tidak adil atau represif. Pada 2016, seorang suporter Persija Jakarta tewas akibat dugaan penganiayaan oleh polisi.

Dalam bukunya tentang ultras sepak bola, ditemukan tulisan "1312," yang merupakan kode numerik dari ACAB.

Penemuan ini menjadi pemicu diskusi luas mengenai tindakan aparat terhadap suporter sepak bola dan bagaimana slogan ini berkembang di Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap represivitas kepolisian.

Kode "1312" sering digunakan oleh kelompok yang ingin menghindari penyensoran atau pembatasan hukum terhadap kritik terhadap kepolisian. Di berbagai kelompok suporter, slogan ini kerap terlihat dalam bentuk grafiti di stadion dan mural di berbagai kota.

Salah satu kasus dalam yang menarik perhatian publik kejadian polisi vs suporter sepak bola tersebut adalah insiden pada tahun 2016, ketika seorang anggota The Jakmania, kelompok suporter Persija Jakarta, yang diduga terlibat dalam kericuhan, ditemukan memiliki tato "A.C.A.B." di tubuhnya.

Kasus lain yang memperkuat penggunaan ACAB di Indonesia adalah tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, di mana lebih dari 130 orang tewas akibat gas air mata yang ditembakkan oleh kepolisian untuk membubarkan kerusuhan setelah pertandingan sepak bola.

Peristiwa ini memicu gelombang kritik besar terhadap aparat keamanan dan menyebabkan semakin maraknya penggunaan ACAB dalam diskusi publik. Penggunaannya semakin meluas seiring meningkatnya kasus dugaan kekerasan polisi terhadap suporter sepak bola, terutama dalam tragedi besar seperti peristiwa Kanjuruhan pada 2022.

Selain dalam dunia sepak bola, penggunaan ACAB di Indonesia juga muncul dalam berbagai aksi demonstrasi mahasiswa dan gerakan sosial lainnya. Beberapa aksi unjuk rasa yang menentang kebijakan pemerintah atau dugaan kekerasan polisi sering kali menampilkan tulisan "ACAB" di spanduk, kaos, dan tembok di sekitar lokasi demonstrasi.

Dalam kasus Sukatani, penggunaan ACAB menjadi simbol protes terhadap tindakan kepolisian yang dianggap berlebihan. Warganet menggunakan istilah ini untuk mengekspresikan solidaritas terhadap band yang terkena dampak dan mengecam tindakan represif terhadap kebebasan berekspresi dalam musik.

Baca Juga:
Buntut Lagu 'Bayar Bayar Bayar', Personel Band Sukatani Dipecat dari Sekolah
 

Reaksi terhadap Penggunaan ACAB

Meskipun banyak yang menggunakan ACAB sebagai bentuk kritik terhadap tindakan kepolisian, istilah ini juga menuai kontroversi. Beberapa pihak menganggapnya sebagai generalisasi berlebihan terhadap seluruh institusi kepolisian, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk kebebasan berekspresi dalam melawan ketidakadilan.

Pada tahun 2016, Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Hendy F. Kurniawan, menilai bahwa penggunaan simbol ACAB di kalangan suporter sepak bola bisa menjadi ancaman terhadap kepolisian.

"Kalau kita melihat, A.C.A.B itu kan All Cops Are Bastard. Walaupun sekadar tato, patut kita duga bahwa adalah pemikiran mereka, mereka sudah tidak simpatik terhadap polisi," kata Hendy di Mapolda Metro Jaya, Rabu, 29 Juni 2016, melansir laporan Medcom.id di hari yang sama.

Menurutnya, meskipun simbol ACAB sering digunakan sebagai bentuk ekspresi, ada potensi bagi kelompok tertentu untuk menggunakannya sebagai alat untuk membangun kebencian terhadap polisi. Ia menegaskan bahwa ketika ACAB dijadikan narasi kolektif oleh suatu kelompok, hal ini bisa memicu tindakan pidana terhadap aparat kepolisian.

"Kalau hanya simbol A.C.A.B belum masuk ranah pidana. Kecuali dengan A.C.A.B itu kemudian mereka menyerukan melalui media kebencian, menghasut seseorang kemudian melakukan perbuatan pidana," ujar Hendy. Ia menambahkan bahwa kepolisian tetap akan mengamankan simbol-simbol yang berpotensi menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap Polri.

Pada akhirnya, ACAB tetap menjadi simbol yang kuat dalam berbagai gerakan sosial di seluruh dunia, termasuk dalam kasus Sukatani. Istilah ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap institusi kepolisian yang dirasakan oleh banyak kelompok, yang merasa bahwa masalah di kepolisian bersifat mengakar dan institusi tersebut harus dirombak secara keseluruhan atau dihilangkan.

Dikarenakan hal tersebut, istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa semua polisi, meskipun ada yang baik, dirasa sengaja menghiraukan korupsi dan penyelewengan kekuasaan dalam institusi. Karena hal tersebut, mereka tetap dilabel "Bajingan".

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)