Graffiti ACAB. (X)
Riza Aslam Khaeron • 24 February 2025 16:13
Jakarta: Kasus yang menimpa band punk asal Purbalingga, Sukatani, telah memicu perdebatan luas di media sosial. Lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" ditarik dari platform digital karena liriknya dianggap menyinggung institusi kepolisian dan band tersebut diduga dipaksa untuk meminta maaf.
Reaksi keras dari warganet yang merasa Kepolisian menjadi institusi anti-kritik, terutama di X (sebelumnya Twitter), turut membawa kembali istilah "ACAB" dalam diskusi yang mengkritik tindakan aparat terhadap band ini.
Gambar: Tangkapan layar postingan di X. (X)
Reaksi keras dari warganet, terutama di X (sebelumnya Twitter), turut membawa kembali istilah "ACAB" dalam diskusi yang mengkritik tindakan aparat terhadap band ini.
Dalam salah satu unggahan di X pada Kamis, 22 Februari 2025, merespons keras tanggapan dari akun Polri, dengan menyatakan "ACAB" di akhir unggahan, yang merupakan akronim terkenal di gerakan anti-polisi. Istilah ini semakin sering muncul di berbagai cuitan yang mendukung band Sukatani dan mengecam tindakan penarikan lagu mereka dari platform digital.
Apa itu ACAB? Berikut penjelasannya.
Di Indonesia, ACAB mulai dikenal luas melalui gerakan suporter sepak bola dan komunitas punk. Slogan ini kerap muncul dalam aksi protes terhadap kebijakan aparat yang dianggap tidak adil atau represif. Pada 2016, seorang suporter Persija Jakarta tewas akibat dugaan penganiayaan oleh polisi.
Dalam bukunya tentang ultras sepak bola, ditemukan tulisan "1312," yang merupakan kode numerik dari ACAB.
Penemuan ini menjadi pemicu diskusi luas mengenai tindakan aparat terhadap suporter sepak bola dan bagaimana slogan ini berkembang di Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap represivitas kepolisian.
Kode "1312" sering digunakan oleh kelompok yang ingin menghindari penyensoran atau pembatasan hukum terhadap kritik terhadap kepolisian. Di berbagai kelompok suporter, slogan ini kerap terlihat dalam bentuk grafiti di stadion dan mural di berbagai kota.
Salah satu kasus dalam yang menarik perhatian publik kejadian polisi vs suporter sepak bola tersebut adalah insiden pada tahun 2016, ketika seorang anggota The Jakmania, kelompok suporter Persija Jakarta, yang diduga terlibat dalam kericuhan, ditemukan memiliki tato "A.C.A.B." di tubuhnya.
Kasus lain yang memperkuat penggunaan ACAB di Indonesia adalah tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, di mana lebih dari 130 orang tewas akibat gas air mata yang ditembakkan oleh kepolisian untuk membubarkan kerusuhan setelah pertandingan sepak bola.
Peristiwa ini memicu gelombang kritik besar terhadap aparat keamanan dan menyebabkan semakin maraknya penggunaan ACAB dalam diskusi publik. Penggunaannya semakin meluas seiring meningkatnya kasus dugaan kekerasan polisi terhadap suporter sepak bola, terutama dalam tragedi besar seperti peristiwa Kanjuruhan pada 2022.
Selain dalam dunia sepak bola, penggunaan ACAB di Indonesia juga muncul dalam berbagai aksi demonstrasi mahasiswa dan gerakan sosial lainnya. Beberapa aksi unjuk rasa yang menentang kebijakan pemerintah atau dugaan kekerasan polisi sering kali menampilkan tulisan "ACAB" di spanduk, kaos, dan tembok di sekitar lokasi demonstrasi.
Dalam kasus Sukatani, penggunaan ACAB menjadi simbol protes terhadap tindakan kepolisian yang dianggap berlebihan. Warganet menggunakan istilah ini untuk mengekspresikan solidaritas terhadap band yang terkena dampak dan mengecam tindakan represif terhadap kebebasan berekspresi dalam musik.
Baca Juga: Buntut Lagu 'Bayar Bayar Bayar', Personel Band Sukatani Dipecat dari Sekolah |
Pada tahun 2016, Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Hendy F. Kurniawan, menilai bahwa penggunaan simbol ACAB di kalangan suporter sepak bola bisa menjadi ancaman terhadap kepolisian.
"Kalau kita melihat, A.C.A.B itu kan All Cops Are Bastard. Walaupun sekadar tato, patut kita duga bahwa adalah pemikiran mereka, mereka sudah tidak simpatik terhadap polisi," kata Hendy di Mapolda Metro Jaya, Rabu, 29 Juni 2016, melansir laporan Medcom.id di hari yang sama.
Menurutnya, meskipun simbol ACAB sering digunakan sebagai bentuk ekspresi, ada potensi bagi kelompok tertentu untuk menggunakannya sebagai alat untuk membangun kebencian terhadap polisi. Ia menegaskan bahwa ketika ACAB dijadikan narasi kolektif oleh suatu kelompok, hal ini bisa memicu tindakan pidana terhadap aparat kepolisian.
"Kalau hanya simbol A.C.A.B belum masuk ranah pidana. Kecuali dengan A.C.A.B itu kemudian mereka menyerukan melalui media kebencian, menghasut seseorang kemudian melakukan perbuatan pidana," ujar Hendy. Ia menambahkan bahwa kepolisian tetap akan mengamankan simbol-simbol yang berpotensi menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap Polri.
Pada akhirnya, ACAB tetap menjadi simbol yang kuat dalam berbagai gerakan sosial di seluruh dunia, termasuk dalam kasus Sukatani. Istilah ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap institusi kepolisian yang dirasakan oleh banyak kelompok, yang merasa bahwa masalah di kepolisian bersifat mengakar dan institusi tersebut harus dirombak secara keseluruhan atau dihilangkan.