Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Foto: Metrotvnews.com/Fachri Audhia Hafiez.
Jakarta: Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut penulisan ulang sejarah bukan sebuah program yang baru. Melainkan, kelanjutan dari program yang sudah dilakukan pemerintah sebelumnya.
Ia mencontohkan proyek Kamus Sejarah. Fadli Zon menyebut prosesnya agak bermasalah dan memang akhirnya diprotes. Karena di dalam kamus sejarah itu, bahkan tokoh sekaliber Kiai Haji Hasyim Asy’ari tidak masuk.
"Saya termasuk yang memprotes sebagai anggota DPR pada saat itu. Malah tokoh-tokoh PKI lebih banyak ditonjolkan. Itu bisa dibuktikan. Akhirnya itu direvisi," ungkap Fadli dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR, Rabu, 2 Juli 2025.
Penulisan sejarah yang dilakukan saat ini, kata dia, adalah penulisan sejarah yang tidak pernah dilakukan pada periode yang cukup lama. Sehingga, pihaknya merasa perlu melakukan pembaruan dalam sejarah Indonesia.
"Kita pernah punya yang namanya Sejarah Nasional Indonesia yang merupakan produk dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975-1976, yang memimpin juga sejarawan hebat namanya Sartono Kartodirjo. Kemudian pada 1980-an juga sudah ada pemutakhiran. Ada juga yang namanya Indonesia dalam Arus Sejarah," kata Fadli Zon.
Ia mengatakan penulisan sejarah terakhir yaitu pada era Presiden ke-3 BJ Habibie. Setelahnya tidak ada.
Fadli Zon mencontohkan sejarah Pemilu yang terakhir dituliskan terjadi pada 1997. Pemilu lainnya dikatakan tidak pernah dituliskan secara resmi oleh pemerintah.
"Kita selalu mengutip bahwa sejarah ini penting, bagian dari jati diri bangsa, bahkan kita selalu mengutip founding father kita Bung Karno, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah dalam suatu pidato yang sangat penting," ungkapnya.
Ia bilang landasan dari penulisan sejarah ini karena ada kekosongan dalam penulisan sejarah yang cukup panjang. Sepanjang 26 tahun Indonesia dikatakan tidak mempunyai sejarah yang ditulis secara kronologis.
"Harapan kita juga sejarah ini ditulis dengan perspektif Indonesia sentris tentu saja dan itu berkaitan dengan kepentingan nasional kita," urainya.
Terkait dengan kerusuhan Mei 1998, Fadli Zon mengatakan bahwa itu merupakan kerusuhan yang menimbulkan banyak korban yaitu jiwa, harta, termasuk perkosaan. Dia pun mengutuk hal itu.
"Itu juga bukan termasuk soal penulisan ulang sejarah, itu adalah pendapat saya pribadi soal diksi massal. Karena massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Ada perkosaan massal di Nanjing itu dilakukan oleh tentara Jepang terhadap Tiongkok saat itu dan itu luar biasa kejamnya dengan perkiraan korban 100-200 ribu. Begitu juga yang dilakukan oleh Serbia terhadap Bosnia dengan perkiraan korban antara 30-50 ribu," ujar Fadli Zon.
Dia pun menyampaikan permohonan maaf jika pernyataan yang dia sampaikan terkait dengan perkosaan Mei 1998 telah melukai banyak pihak.
"Saya minta maaf kalau ini terkait dianggap insensitif. Tapi saya sekali lagi dalam posisi mengutuk dan mengecam segala macam kekerasan terhadap perempuan. Kalau ada perbedaan pendapat tentang diksi tadi itu ya itu menurut saya pendapat pribadi. Ini adalah perbedaan pendapat mengenai data yang ke depan kita harus lebih akurat lagi," terangnya.
"Saya kira tidak ada maksud lain dan tidak ada kepentingan. Orang-orang pelaku yang semacam itu sampai sekarang pun seharusnya bisa dihukum kalau misalnya bisa ditelusuri kelompoknya dan pelakunya. Masalahnya kan itu belum menjadi sebuah fakta hukum. Jadi tidak ada maksud lain dan sama sekali tidak mengucilkan apa lagi mereduksi dan menegasikannya," ungkapnya.