Ilustrasi survei. Foto: Medcom.id.
Jakarta: Setara Institute mengkritik sejumlah hasil jajak pendapat yang dinilai mengherankan. Lembaga survei diajak kembali ke muruahnya sebagai instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat.
"Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang semakin tidak masuk akal," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 November 2023.
Ismail mengatakan masyarakat tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei. Masyarakat juga tidak tahu apakah lembaga survei juga merangkap sebagai konsultan politik.
"Juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi," ujar dia.
Ismail menyebut survei sejatinya sudah lama dipraktikkan dalam negara demokratis seperti Indonesia. Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara kerap berjarak.
"Oleh karenanya, survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan akademik," papar dosen hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ismail menuturkan hasil survei yang kontroversial bukan menjadi subjek kritik. Kritik dinilai hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika.
"Baik etika pengambilan data dan etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan yang sering berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei," ucap dia.