Dibanding Ethiopia, Pertanian Berkelanjutan RI Masih Ketinggalan

Ilustrasi. Foto: dok MI/Amiruddin.

Dibanding Ethiopia, Pertanian Berkelanjutan RI Masih Ketinggalan

Media Indonesia • 24 June 2024 15:09

Jakarta: Peneliti Center of Reform on Economic Center of Reform on Economics (CoRE), Eliza Mardian menyatakan berdasarkan indikator Food Sustainability Index (FSI), Ethiopia memiliki skor yang baik di salah satu indikator, yakni pertanian berkelanjutan.

"Ethiopia bahkan ranking ke-23 dari 78 negara, sementara Indonesia berada di peringkat 71 dari 78 negara. Sangat jauh dibandingkan Ethiopia, pertanian di Indonesia dapat dikatakan kurang berkelanjutan," ucap Eliza saat dihubungi, Senin, 24 Juni 2024.

Di Ethiopia, sambung dia, subindikator pertanian berkelanjutan yang mempunyai nilai yang hampir sempurna atau nilai 100 di antaranya manajemen pengairan atau irigasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, biodiversitas dan keberlanjutan lahan.

"Water manajemen di Indonesia bahkan skornya nol. Manajemen irigasi ini sangat krusial bagi pertanian karena tanaman membutuhkan air yang memadai," terang Eliza.

Lebih lanjut, Eliza menjelaskan beberapa subindikator pertanian berkelanjutan Indonesia yang berada di bawah Ethiopia yakni subsidi pertanian, investasi di pertanian berkelanjutan serta resiliensi terhadap perubahan iklim.

"Ethiopia punya dukungan politik yang kuat untuk bisa menerapkan pertanian berkelanjutan. Kebijakan dan program pemerintahnya yang fokus pada pertanian berkelanjutan membantu meningkatkan adopsi praktek-praktek yang lebih berkelanjutan yang berdampak pada terjaganya keseimbangan ekosistem," ungkap dia.

"Berbeda dengan Indonesia yang belum utuh menerapkan praktik pertanian berkelanjutan," sambung dia.

 

Baca juga: Harga Pangan Naik Terus karena Industri Pertanian Sedang Tidak Baik
 

Pengairan jadi kunci pertanian berkelanjutan


Eliza menyebut, manajemen air atau pengairan menjadi kunci dalam pertanian berkelanjutan, sementara irigasi Indonesia saat ini mayoritas rusak berat akibat kurang terurus, pendangkalan, tersumbat akibat pembangunan infrastuktur atau perumahan dan lain-lain.

"Dari sisi anggaran pun pemerintah untuk merevitalisasi irigasi yang rusaknya sudah sistemik ini kurang memadai, jadi petani kita bergantung kepada air hujan dan air sungai, namun sungai ini ongkosnya mahal karena harus mengeluarkan biaya untuk membeli solar untuk pompa," jelas dia.

Pemerintah, lanjut dia, bisa melakukan kolaborasi antar stakeholder untuk bersama-sama membangun pertanian berkelanjutan. Selain itu, petani juga harus terlibat secara aktif dalam pengembangan teknologi dan praktek pertanian berkelanjutan.

"Hal ini membantu dalam meningkatkan hasil pertanian dan mengurangi biaya produksi. Petani jangan jadi objek, tapi jadi subjek dalam hal pengembangan teknologi. Pemerintah dapat memfasilitasi untuk peningkatan dan penerapan R&D serta mendorong adanya transfer of knowledge kepada petani agar mereka berkembang dan mandiri," jelas dia. (Naufal Zuhdi)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Ade Hapsari Lestarini)