Jakarta: Premanisme bukan fenomena baru dalam kehidupan sosial Indonesia. Istilah “preman” sendiri memiliki perjalanan panjang dan berubah maknanya seiring waktu. Dari yang awalnya merujuk pada tokoh-tokoh karismatik, hingga berkembang menjadi simbol kekerasan jalanan dan kriminalitas yang meresahkan masyarakat.
Kata “preman” berasal dari bahasa Belanda: vrijman, yang berarti “orang merdeka” atau “bebas”. Pada masa kolonial Hindia Belanda, istilah ini digunakan untuk menyebut mantan narapidana atau orang yang tidak terikat dengan struktur formal pemerintahan, namun sering menjadi pekerja kasar atau penguasa jalanan.
Namun, dalam praktiknya, banyak dari vrijman ini menjadi kelompok yang menggunakan kekuatan fisik untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Di sinilah awal mula premanisme sebagai kekuatan informal yang kerap memakai kekerasan lahir di tengah masyarakat.
Sejarah Premanisme
Premanisme Zaman Revolusi (1945–1950an)
Setelah Indonesia merdeka, situasi politik dan keamanan masih belum stabil. Banyak kelompok yang dulunya pejuang kemerdekaan berubah menjadi preman lokal, terutama karena tidak terserap dalam sistem militer resmi. Mereka memiliki senjata dan pengaruh, namun tidak berada dalam kontrol negara.
Beberapa kelompok ini kemudian terlibat dalam konflik antarkampung, perebutan wilayah, atau menjadi "centeng" (pengaman) bagi pengusaha atau tokoh tertentu.
Preman dan Politik Orde Baru
Pada masa Orde Baru, premanisme justru berkembang dalam bentuk yang lebih sistematis. Banyak preman direkrut menjadi bagian dari organisasi massa, bahkan dimanfaatkan oleh penguasa untuk mengendalikan massa dan membungkam oposisi. Salah satu contohnya adalah kemunculan Pemuda Pancasila dan kelompok serupa yang kerap berada dalam orbit kekuasaan.
Preman tidak hanya eksis di jalanan, tapi juga masuk ke dalam sistem politik, ekonomi informal, dan keamanan bayangan. Mereka dikenal sebagai "aktor non-negara" yang punya kuasa dalam dinamika sosial dan bisnis di berbagai kota besar.
Era Reformasi dan Premanisme Baru
Setelah Reformasi 1998, premanisme mengalami transformasi. Banyak preman lama bergabung ke dalam ormas, LSM, bahkan partai politik, dan mendapat legitimasi baru. Namun, premanisme jalanan tetap ada dalam bentuk pungutan liar, penguasa terminal, pasar, hingga parkiran liar.
Premanisme juga memasuki dunia digital, dengan munculnya kelompok cyber preman yang menyebarkan ancaman atau ujaran kebencian demi kepentingan tertentu.
Penanganan Premanisme oleh Negara
Upaya pemberantasan premanisme terus dilakukan, seperti operasi oleh polisi terhadap pungli dan intimidasi di tempat umum. Namun, sel-sel premanisme tetap eksis karena faktor ekonomi, lemahnya penegakan hukum, dan keterlibatan pihak-pihak berpengaruh.