Tangkapan layar video unggahan akun Facebook bernama Reffa Rizky di grup publik 'Keluh Kesah Hidup Kehidupan Berteknologi 4.0 (K3BT)'.
Daviq Umar Al Faruq • 23 July 2025 08:30
Malang: Seorang warga Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menyoroti dampak kebisingan sound horeg -sound system berukuran besar dan bertenaga tinggi yang menghasilkan suara sangat keras dan bergetar- dari acara tahunan yang digelar di kawasan permukiman. Dampak kebisingan disampaikan oleh warga tersebut lewat unggahan, hingga viral di media sosial.
Sorotan itu awalnya diunggah oleh akun Facebook bernama Reffa Rizky di grup publik 'Keluh Kesah Hidup Kehidupan Berteknologi 4.0 (K3BT)'. Dalam unggahan tersebut terdapat video dan sebuah foto tabel, terkait tingkat kebisingan ekstrem yang dihasilkan oleh sound horeg.
"Untuk video saya itu diambil di Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, tanggal 19 Juli 2025 kemarin. Saya tidak pro atau kontra, karena saya iseng ingin membuktikan seberapa besar suara yang dihasilkan dari sound itu sendiri," kata Reffa saat dihubungi Metrotvnews.com, Rabu 23 Juli 2025.
Dalam video berdurasi 14 detik itu, tampak seorang pria menggunakan aplikasi DBmeter di ponselnya untuk mengukur tingkat kebisingan saat acara berlangsung. Hasilnya menunjukkan angka 130 desibel (dB) dengan parameter dB-C yang konsisten.
“Iseng-iseng coba download APK di Appstore tentang DBmeter, entah ini akurat atau tidak, yang jelas jarumnya sudah menunjukan 130 dB dengan parameter dB-C. Mumpung depan rumah dilewati
event tahunan, ya mau bagaimana lagi suka nggak suka tetap dilewati," tulis Reffa dalam unggahannya.
Dalam unggahannya, Reffa juga menyertakan foto tabel referensi yang menjelaskan bahwa manusia tanpa alat pelindung pendengaran hanya boleh terpapar suara 130 dB selama 0,88 detik. Jika melebihi waktu tersebut, maka risiko gangguan pendengaran permanen dalam jangka panjang sangat mungkin terjadi.
“Yang jelas menurut tabel, orang boleh terpapar suara tanpa alat pengaman (earplug atau earmuff) jika di dB meter menunjukan 130 dB berarti orang tersebut hanya boleh terpapar suara tersebut selama 0,88 detik. Jika melebihi waktu tersebut maka akan berakibat fatal dalam jangka panjang, yaitu fungsi pendengaran menurun sebelum waktunya,” lanjutnya.
Meski telah menggunakan
earmuff atau pelindung telinga, Reffa mengaku kebisingan tetap terasa mengganggu. Ia mengimbau masyarakat yang gemar menghadiri atau tinggal di sekitar lokasi
event musik tahunan untuk mulai mempertimbangkan penggunaan pelindung telinga demi menjaga kesehatan pendengaran.
“Walaupun saya memakai
earmuff, tapi ya begitulah, suara yang dihasilkan ini masih begitu terasa. Jadi bila Anda menyukai event tahunan kayak gini, mungkin Anda harus menyiapkan pelindung telinga untuk mengurangi risiko terjadi penurunan pendengaran,” tutupnya.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur resmi mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. Fatwa ini diterbitkan sebagai respons atas maraknya praktik sound horeg yang belakangan memicu kontroversi hingga keluhan warga di sejumlah daerah.
Dalam pertimbangannya, MUI Jatim menegaskan bahwa kemajuan teknologi audio digital sejatinya hal yang positif selama digunakan untuk kepentingan yang bermanfaat dan sesuai syariah.
“Setiap individu memiliki hak berekspresi selama tidak mengganggu hak asasi orang lain,” bunyi salah satu poin dalam fatwa tersebut.
Namun demikian, penggunaan
sound horeg yang melebihi ambang batas wajar, menimbulkan kebisingan ekstrem, hingga mengganggu kenyamanan, kesehatan, atau bahkan merusak fasilitas umum, dinyatakan haram.
Hal ini juga berlaku jika di dalam kegiatan
sound horeg terdapat unsur kemaksiatan seperti joget campur laki-laki dan perempuan, membuka aurat, atau hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat Islam.
Komisi Fatwa menegaskan
sound horeg tetap diperbolehkan selama diatur dengan baik. Penggunaan diperbolehkan jika volumenya masih dalam batas wajar, tidak merugikan orang lain, serta digunakan dalam kegiatan yang positif seperti pengajian, shalawatan, atau hajatan pernikahan, tanpa unsur maksiat.
Fenomena
battle sound atau adu suara yang kerap terjadi di lapangan juga menjadi sorotan. Dalam fatwa itu disebutkan kegiatan battle sound yang terbukti menimbulkan kebisingan ekstrem dianggap sebagai bentuk tabdzir (pemborosan) dan
idha’atul mal (penyia-nyiaan harta), sehingga diharamkan secara mutlak.
Selain itu, MUI Jatim juga menekankan adanya tanggung jawab ganti rugi jika penggunaan
sound horeg terbukti merugikan orang lain.
“Penggunaan
sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang mengakibatkan dampak kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian,” tulis salah satu poin dalam fatwa tersebut.