Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. Medcom.id
Devi Harahap • 15 July 2025 17:20
Jakarta: Aktivis hukum, Terence Cameron, bersama dua warga negara lainnya, Geszi Muhammad Nesta dan Adnisa Prettya, menggugat Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Pasal tersebut dinilai membuka peluang lebih banyak pasangan calon (paslon) kepala daerah, sehingga dapat memecah suara pemilih dan menghasilkan paslon terpilih hanya memiliki persentase perolehan suara yang rendah.
“Tidak memberikan legitimasi yang cukup dan juga berpotensi menghasilkan paslon terpilih yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih, dan bukan paslon yang terbaik,” ujar Terence di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa, 15 Juli 2025.
Aturan yang diuji di antaranya Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi, “Pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon wali Kota dan calon wakil wali kota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati terpilih, serta pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota terpilih.”
Serta, Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 yang berbunyi, “Pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih."
Sementara itu, ketentuan sebelumnya yang berlaku dalam UU Nomor 12 Tahun 2008) ialah paslon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 50 persen untuk ditetapkan sebagai paslon terpilih. Namun, jika tidak terpenuhi dan terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, paslon tersebut dapat dinyatakan sebagai paslon terpilih. Jika tidak terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, dilakukan pemilihan putaran kedua.
Ketentuan tersebut juga berubah kembali pada UU Nomor 1 Tahun 2015, yaitu paslon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 30 persen untuk dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Kemudian, pada UU Nomor 8 Tahun 2015, sudah tidak ada lagi ketentuan besaran syarat perolehan suara minimal untuk ditetapkan sebagai paslon terpilih dan paslon yang memperoleh suara terbanyak terlepas dari besaran perolehan suaranya, otomatis akan ditetapkan sebagai paslon terpilih.
Menurut para pemohon, ketentuan tersebut diubah tanpa adanya parameter yang jelas, sehingga muncul ketidakpastian hukum yang adil dan bentuk kemunduran demokrasi.
Baca Juga:
Puan Sebut MK Langgar UUD Terkait Putuskan Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah |