Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Jakarta: Setiap tahun pemerintah rutin menggulirkan dana desa sebagai salah satu upaya desentralisasi fiskal. Boleh dibilang stimulus itu memberi sejumlah dampak positif. Namun dana desa juga memunculkan dampak negatif.
Hal itu disampaikan Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Jaka Sucipta dalam diskusi bersama awak media di Gunungkidul, Yogyakarta.
Salah satu dampak negatif dari pengucuran dana desa, ungkap Jaka, ialah maraknya korupsi di lingkup pemerintahan desa.
"Ekses negatif salah satunya korupsi. Itu kalau dulu terpusat, dengan era desentralisasi, (korupsi) sampai ke kabupaten/kota, sekarang sampai ke desa. Ini ekses negatif yang menjadi keprihatinan kita semua," ujar Jaka, dikutip Kamis, 2 Mei 2024.
Publik, lanjut Jaka, juga secara terbuka dapat menelusuri banyaknya kasus korupsi terkait dana desa di lingkup pemerintahan desa. Salah satu yang paling diingat ialah penggunaan dana desa untuk karaoke.
Ada pula penggunaan dana desa yang tampak digunakan dengan benar. Namun ternyata ada permainan di belakangnya. Misal, kata Jaka, dana desa digunakan untuk pengadaan ambulance. Hanya pengadaan itu didasari pada cawe-cawe dari rekanan pejabat desa terkait.
"Itu ekses-ekses, perilaku korupsi. Bisa dilihat salah satunya juga bagaimana laporan ICW (Indonesia Corruption Watch), bagaimana angka korupsi di desa meningkat. Ini ekses negatif yang jadi perhatian kita," tutur Jaka.
Tak punya kewenangan soal penyalahgunaan
Jaka mengaku pihaknya tak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan atas praktik lancung tersebut. Penanganan tindak pidana sepenuhnya menjadi kuasa aparat penegak hukum.
Karenanya, Kemenkeu selalu meminta kerja sama dari instansi penegak hukum untuk mengawal penggunaan dana desa. Kewenangan yang dimiliki instansi pengelola keuangan negara terbatas pada penghentian pemberian
dana desa hingga pencabutan insentif.
"Di kami (DJPK Kemenkeu), setiap ada penyalahgunaan dana desa, itu kami hentikan (penyalurannya). Jadi kalau ada kades atau perangkat desanya kena kasus, kami hentikan sampai ditunjuk plt-nya ini yang bisa kami lakukan. Karena kami hanya terkait pengalokasian dan penyaluran," jelas Jaka.
"Ketika sebuah desa terjerat kasus korupsi, itu tidak kami ikutkan masuk ke insentif dana desa. Jadi begitu ada kasus korupsi, (langsung) di-
black list," tambah dia.
Picu pergeseran nilai sosial
Selain memunculkan praktik korupsi, dana desa saat ini juga diduga menggeser nilai-nilai luhur masyarakat, utamanya di level pejabat dan perangkat desa. Berdasarkan kajian sementara dengan Badan Intelijen Negara (BIN), kata Jaka, dana desa diduga berpotensi memicu pergeseran nilai sosial masyarakat.
"Kalau dulu, misal, saya ini dari kampung dan itu kegotongroyongan, kesukarelaan, itu melekat. Sekarang dengan adanya dana desa menjadi transaksional. Misal, yang kerja bakti yang dapat BLT saja," imbuh Jaka.
"Ini memang sedang kami kaji bagaimana dampak dana desa yang sifatnya
eligible asset seperti nilai-nilai kegotongroyongan sedang kami lakukan. Karena ini disinyalir mereduksi nilai-nilai sosial. Tapi sekali lagi, ini masih dalam proses semacam perkiraan, jadi memang harus dibuktikan dengan sebuah kajian," tutur dia.
Adapun sejak 2015 hingga 2024, pemerintah telah menyalurkan dana desa sebesar Rp609,68 triliun. Sedangkan di 2024, alokasi dana desa senilai Rp71 triliun yang diberikan untuk 75.259 desa di 434 kabupaten/kota. Sehingga, setiap desa rerata memperoleh dana desa senilai Rp943,34 juta.
(M ILHAM RAMADHAN)