Amerika Serikat. Foto: Unsplash.
New York: Ekonom David Rosenberg menuturkan resesi kemungkinan besar akan menghantam perekonomian Amerika Serikat (AS) pada 2024, Rosenberg membuat indikator ekonomi menunjukkan ada kemungkinan 85 persen terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan. Angka tersebut merupakan angka tertinggi model tersebut sejak Krisis Keuangan Besar pada tahun 2008.
Model ini didasarkan pada kertas kerja NBER dan terdiri dari indeks kondisi keuangan, rasio pembayaran utang, spread jangka waktu asing, dan tingkat kurva imbal hasil.
Rosenberg mengatakan model ekonomi ini memiliki keunggulan dibandingkan model lainnya karena sejarahnya dalam memberikan peringatan resesi secara tepat waktu tanpa menimbulkan sinyal palsu sejak 1999.
Rosenberg mengamati bahwa pada awal 2023 model ini hanya menunjukkan kemungkinan terjadinya resesi sebesar 12 persen. Sedangkan indikator kurva imbal hasil menunjukkan kemungkinan terjadinya resesi adalah 50 persen pada saat itu.
"Model lengkap memperkirakan
soft landing yang kita lihat pada 2023, tetapi sekarang menunjukkan pada 2024, kemungkinan resesi sangat tinggi," kata Rosenberg, dilansir
Business Insider, Selasa, 13 Februari 2024.
Model ini mempertanyakan narasi yang berkembang bahwa perekonomian akan memasuki skenario soft atau no landing pada tahun ini. "Keyakinan kami resesi telah tertunda namun tidak tergelincir (masih tetap tinggi)," kata Rosenberg.
Bencana bagi pasar saham
Dia menegaskan jika resesi benar-benar terjadi, hal ini kemungkinan akan menjadi bencana bagi pasar saham.
"Hanya sedikit kelas aset yang memperhitungkan hasil tersebut, meskipun resesi adalah bagian tak terpisahkan dari siklus bisnis dan hampir selalu terjadi setelah siklus kenaikan suku bunga The Fed yang terus melewati titik inversi kurva imbal hasil," kata Rosenberg.
Model yang digunakan oleh Rosenberg juga membantu menjelaskan mengapa indikator kurva imbal hasil yang diikuti sejauh ini tidak akurat dalam memprediksi resesi.
"Hal ini juga menjelaskan mengapa kurva imbal hasil tidak berfungsi sebagai prediktor resesi pada 2017 hingga 2019. Kondisi keuangan yang mudah, kewajiban pembayaran utang yang sangat rendah, dan selisih kurs mata uang asing yang menguntungkan mengimbangi sinyal dari kurva imbal hasil AS yang terbalik,” kata Rosenberg.