Kabinet Merah Putih dalam Sorotan Komunikasi Ontologis

Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Pribadi

Kabinet Merah Putih dalam Sorotan Komunikasi Ontologis

29 October 2025 23:05

Oleh: Dr. (Can.) Kennorton Hutasoit*

Setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar peristiwa politik. Ia adalah sebuah peristiwa komunikasi kehidupan. Dalam pandangan Omnigeneric Communication Theory (OCT), kehidupan tidak dapat dipisahkan dari komunikasi - karena komunikasi bukan alat untuk hidup, melainkan hakikat dari hidup itu sendiri.

Teori ini menegaskan bahwa semua realitas adalah komunikasi. Tuhan berkomunikasi melalui wahyu; manusia berkomunikasi melalui tindakan, bahasa, dan diamnya; negara berkomunikasi melalui kebijakan dan kehadirannya. Maka, untuk memahami dan mengevaluasi kinerja Kabinet Merah Putih, kita tidak cukup melihat data ekonomi, indeks kemiskinan, atau program sosial. Kita perlu melihat bagaimana pemerintahan ini hidup sebagai komunikasi itu sendiri.
 

Pemerintah Sebagai Entitas Komunikatif


Dalam teori komunikasi klasik, pemerintah adalah pengirim pesan, rakyat adalah penerima. Tapi dalam OCT, keduanya adalah co-being - mereka hidup dalam satu jaringan makna yang saling menegaskan keberadaan. Negara tidak hanya berbicara kepada rakyat, tetapi menjadi hidup karena rakyat menanggapinya.

Dengan sudut pandang ini, Kabinet Merah Putih dapat dilihat sebagai sebuah organisme komunikatif, bukan mesin birokrasi. Ia hidup sejauh ia berkomunikasi secara selaras di antara organ-organnya. Ketika presiden, para menteri, dan lembaga berinteraksi dengan satu napas, negara itu hidup sehat. Sebaliknya, bila komunikasi internal retak, ego sektoral muncul, dan koordinasi mandek, tubuh negara mulai kehilangan kesadarannya. Simbol “Merah Putih” itu sendiri adalah bahasa kehidupan. Ia menandakan kesatuan dan keberanian, nasionalisme dan kasih tanah air. Tapi, simbol hanya akan bermakna bila dihidupi, bukan sekadar dikibarkan. Pemerintahan menjadi paradoks ketika berbicara tentang kesatuan nasional, namun praktik komunikasinya terfragmentasi antara kementerian yang saling berjalan sendiri.
 

Kebijakan Sebagai Komunikasi Kehidupan


Dalam kerangka OCT, setiap kebijakan pemerintah adalah tindakan komunikatif. Ia bukan sekadar keputusan administratif, tetapi pesan eksistensial negara kepada rakyatnya. Ambil contoh Program Makan Bergizi Gratis (MBG) - salah satu program unggulan tahun pertama. Dalam logika teknokratis, program ini adalah strategi gizi dan pengentasan kemiskinan. Namun, dalam logika ontologis komunikasi, MBG adalah pesan kasih negara kepada anak-anaknya.

Ketika pemerintah memberi makanan bergizi kepada jutaan siswa, sesungguhnya negara sedang berkata: “Aku hadir. Aku peduli pada tumbuh kembangmu.” Tapi, jika pelaksanaannya hanya berhenti pada distribusi logistik, tanpa empati, tanpa komunikasi hangat di lapangan, makna ontologisnya bergeser. Negara tidak lagi hadir sebagai subjek kehidupan, melainkan sekadar administrator statistik.

Hal yang sama berlaku pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Pemerintah menyebutnya sebagai poros kebijakan kesejahteraan sosial - basis agar bantuan tepat sasaran. Namun dalam OCT, DTSEN bukan hanya sistem data. Ia adalah upaya negara memahami kehidupan warganya. Bila data diperlakukan sebagai angka tanpa wajah, negara kehilangan maknanya sebagai pengenal rakyat. Tetapi bila data dimaknai sebagai cermin eksistensi - tempat negara melihat rakyat satu per satu - maka komunikasi kehidupan benar-benar terjadi.
 

Komunikasi sebagai Keberadaan Nasional


OCT juga menilai komunikasi luar negeri sebagai bagian dari keberadaan bangsa. Saat Presiden Prabowo hadir di Sidang Umum PBB dan KTT Gaza, itu bukan sekadar diplomasi. Ia adalah komunikasi ontologis Indonesia kepada dunia.

Pesan yang dikirim bukan hanya tentang politik luar negeri, tetapi tentang siapa Indonesia itu. Dalam bahasa OCT, setiap kehadiran di panggung dunia adalah manifestasi eksistensial bangsa.
  Maka ketika Prabowo berbicara tentang pasukan perdamaian TNI, tentang solidaritas dan kemanusiaan, yang sesungguhnya dikatakan adalah “Indonesia ada karena ia membawa pesan damai bagi dunia.” Itulah komunikasi sebagai keberadaan - communication as being. Bukan sekadar retorika politik, tetapi refleksi spiritual dari bangsa yang sadar akan dirinya.
 

Evaluasi Ontologis Satu Tahun Kabinet Merah Putih

 
Dengan perspektif OCT, evaluasi tidak lagi bertanya “apa hasilnya?” melainkan “apa maknanya?” Pertama, komunikasi internal adalah tubuh negara yang belum selaras. Koordinasi lintas kementerian masih sering menunjukkan ego sektoral. Dalam bahasa OCT, tubuh kabinet belum beresonansi dalam satu ritme napas. Pemerintahan yang efektif bukanlah yang paling cepat membuat kebijakan, tetapi yang paling selaras dalam membangun makna bersama.
 
Kedua, komunikasi publik yakni negara yang masih berbicara dari podium. Capaian makro seperti pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 2% terdengar baik di pidato. Tapi, bagi banyak warga, pesan itu belum menjadi pengalaman hidup. Dalam OCT, komunikasi sejati bukan saat rakyat mendengar pemerintah, melainkan saat rakyat merasakan kehadiran pemerintah.
 
Ketiga, komunikasi data yakni negara yang mengetahui tapi belum mengenal. DTSEN adalah langkah penting menuju integrasi sosial. Namun, tantangan terbesar adalah menjaga agar data tidak mendehumanisasi rakyat. Berdasarkan OCT, hal ini dapat dimaknai bahwa negara yang tahu data, tetapi tidak mengenal manusia dan kehilangan jiwa komunikasinya.
 
Keempat, komunikasi internasional yaitu eksistensi bangsa di panggung dunia. Prabowo berhasil menampilkan Indonesia sebagai negara kuat sekaligus humanis. Ini adalah bentuk komunikasi yang meneguhkan keberadaan Indonesia yaitu bangsa yang memadukan kekuatan dan kasih. Dalam OCT, ini adalah tanda bahwa eksistensi komunikatif Indonesia sedang tumbuh.
 

Makna di Balik Angka dan Pidato

 
Dalam setahun pemerintahan ini, berbagai indikator menunjukkan hasil positif. Tapi dalam OCT, keberhasilan sejati tidak terletak pada angka, melainkan pada makna keberadaan yang dirasakan rakyat. Apakah masyarakat merasa didengar? Apakah mereka merasa diakui sebagai bagian dari kehidupan nasional? Apakah kebijakan dirasakan sebagai bentuk cinta, bukan sekadar kewajiban?
 
Ketika negara hadir dalam ruang batin rakyat - bukan hanya ruang publik - di situlah komunikasi mencapai makna ontologisnya. Negara tidak lagi berkomunikasi tentang rakyat, melainkan berkomunikasi dengan rakyat sebagai sesama makhluk hidup.
 

Rekomendasi Ontologis untuk Tahun Kedua

 
Dari perspektif OCT, ada beberapa langkah komunikasi yang dapat memperkuat kehidupan pemerintahan ke depan. Pertama hadir, bukan sekadar menyapa. Kehadiran pemerintah harus dirasakan, bukan hanya diumumkan. Komunikasi adalah kehadiran yang menyembuhkan jarak antara istana dan desa.
 
Kedua, membangun resonansi antar-menteri. Kabinet harus hidup sebagai tubuh dengan satu kesadaran komunikatif. Koordinasi yang lamban bukan sekadar masalah birokrasi, tapi tanda lemahnya dialog eksistensial antarbagian tubuh negara.
 
Ketiga, mengubah komunikasi publik menjadi relasi hidup. Alih-alih kampanye pencapaian, seharusnya pemerintah mengubah komunikasi menjadi percakapan kehidupan. Mendengarkan suara publik sebagai mitra ontologis, bukan sekadar objek survei.
 
Keempat, humanisasi data dan kebijakan. Pemerintah harus menjadikan data menjadi jendela empati, bukan dinding administrasi. Setiap angka mewakili kehidupan yang nyata - dan di sanalah makna komunikasi sejati.  
Kelima, mempertahankan spirit perdamaian sebagai identitas. Dalam diplomasi global, Indonesia perlu terus menegaskan diri bukan sekadar sebagai negara besar, tapi sebagai bangsa yang hidup untuk menghadirkan harmoni dunia.
 
Komunikasi sebagai jalan hidup bangsa dalam filsafat OCT adalah komunikasi bukan hanya instrumen demokrasi, tapi napas kehidupan itu sendiri. Negara yang gagal berkomunikasi sejatinya sedang kehilangan oksigen keberadaannya. Sebaliknya, negara yang berkomunikasi dengan kasih, keterbukaan, dan kesadaran eksistensial akan menumbuhkan kehidupan nasional yang utuh.
 
Kabinet Merah Putih masih dalam tahap menemukan harmoni ontologisnya. Ia telah bekerja keras, namun perlu lebih sadar bahwa keberhasilan sejati bukan hanya apa yang dicapai, melainkan bagaimana pemerintah itu ada (hadir) di mata dan hati rakyatnya. Karena pada akhirnya, sebagaimana Tuhan berkomunikasi melalui cinta, negara pun hidup sejauh ia berkomunikasi dengan rakyatnya dalam kasih dan kejujuran.
 
Komunikasi bukan alat politik, melaikan kehidupan itu sendiri. Sebagaimana dalam teori komunikasi Omnigeneric Communication Theory, “when communication ceases, life stops." (Ketika komunikasi terhenti, kehidupan pun terhenti).[]
 
*Penulis adalah Produser Metro TV, Dosen Komunikasi Politik, dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)