Ilustrasi prajurit. (Medcom.id)
Riza Aslam Khaeron • 23 March 2025 11:25
Jakarta: Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sorotan besar dari publik sejak awal pembahasan karena dinilai dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa. Kekhawatiran publik terutama terkait dengan potensi kembalinya dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru, di mana militer dapat menduduki berbagai posisi sipil tanpa batasan.
Melansir laman Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jumat, 21 Maret 2025, revisi RUU TNI telah disahkan oleh DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025, dalam rapat paripurna. Salah satu perubahan utama dalam RUU ini adalah ketentuan yang memperbolehkan prajurit TNI aktif untuk menduduki 14 jabatan sipil di kementerian atau lembaga tanpa perlu pensiun terlebih dahulu.
Perubahan lainnya mencakup batas usia pensiun prajurit, di mana bintara dan tamtama paling tinggi berusia 55 tahun, perwira hingga pangkat kolonel berusia 58 tahun, perwira tinggi bintang 1 hingga usia 60 tahun, perwira tinggi bintang 2 hingga usia 61 tahun, dan perwira tinggi bintang 3 hingga usia 62 tahun.
Selain itu, tugas pokok TNI juga diperluas, termasuk keterlibatan dalam penanggulangan ancaman siber.
Muhammad Najib Azca, Ph.D., Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, menyampaikan kritik terhadap proses pembahasan revisi RUU TNI yang dinilai minim partisipasi publik.
"Perlu dilakukan dengan terbuka, dengan partisipasi dan deliberasi publik yang luas," kata Najib Azca, seperti dikutip dari laman UGM pada Jumat, 21 Maret 2025.
Najib menegaskan bahwa pembahasan sebuah RUU harus memiliki timeline yang jelas dan penjadwalan yang transparan, termasuk melibatkan pihak-pihak terkait untuk menyampaikan pendapat mereka.
Najib juga menyatakan bahwa kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru masih jauh, tetapi ia mengingatkan adanya tanda-tanda kemunduran dalam agenda reformasi militer.
"Pada masa Orde Baru, militer bisa menduduki semua posisi sipil tanpa pengecualian, baik di legislatif melalui Fraksi ABRI maupun di eksekutif," ujar Najib. Namun, ia menyoroti bahwa hingga saat ini reformasi sektor keamanan belum sepenuhnya dijalankan, termasuk dalam hal penghapusan struktur komando teritorial yang tidak sejalan dengan sistem demokrasi.
Najib juga menyoroti belum adanya peradilan sipil untuk prajurit TNI yang melakukan pelanggaran di ranah sipil sebagai masalah yang masih belum terselesaikan.
"Saat ini tren yang terjadi justru berkebalikan dengan semangat reformasi sektor keamanan," katanya.
Sebagai negara yang menganut supremasi sipil, Najib menegaskan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan terkait militer. Ia memperingatkan bahwa bertambahnya jumlah personel militer yang mengisi jabatan sipil dapat menurunkan profesionalisme militer serta merosotnya prinsip meritokrasi dalam lembaga publik.
"Yang dicemaskan dengan penambahan porsi militer untuk berperan di jabatan sipil ini adalah berkurangnya profesionalisme militer serta merosotnya prinsip meritokrasi di lembaga publik," tambah Najib.
Najib mengajak masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal implementasi UU TNI ini. Menurutnya, masyarakat sipil perlu memperkuat pengetahuan dan kemampuan di bidang pertahanan dan keamanan agar mampu memberikan masukan yang kritis dan terinformasi.
"Proses yang terjadi sekarang ini harus terus dikritisi oleh publik, oleh civil society," ujar Najib.
Baca Juga: Keberadaan TNI Dinilai Dibutuhkan Hadapi Ancaman Siber dan Terorisme |