M Sholahadhin Azhar • 12 December 2023 12:15
Jakarta: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dikritik. Putusan terkait Perkara Nomor 90 itu dinilai mengoyak reformasi yang menandai akhir Orde Baru.
"Reformasi kembali ke titik nol. Saya tidak pernah hidup di zaman reformasi, tapi saya pernah sekolah, tahu sejarah Orde Baru, tidak seperti anak muda yang bernama Kaesang Pangarep," kata Ketua BEM UI Melki Sedek Huang dalam keterangan tertulis yang diterima Metrotvnews.com, Selasa, 12 Desember 2023.
Menurut dia, kekuasaan telah mengobrak-abrik dan mengacak-acak hukum untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan. Kondisi tersebut, kata Melki, mirip saat Dwifungsi ABRI.
"Pada 1998 orang-orang berjuang untuk menolak Dwifungsi ABRI, hari ini, kita bisa melihat penempatan TNI-Polri di pos-pos tertentu untuk membantu salah satu kontestan
pemilu. Meskipun jauh-jauh hari banyak TNI yang menempati pos-pos sipil," kata dia.
Atas dasar itu, Melki mempertanyakan jargon berpolitik dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang harus dilakukan dengan riang gembira. Sebab, tak ada keriangan ketika konstitusi diacak-acak.
"Bagaimana kita bisa berpolitik riang gembira kalau kita tahu setelah mereka terpilih akan merusak demokrasi? Istilah politik santun, gembira hanya propaganda untuk kita agar tidak marah, padahal seharusnya sejak putusan MK kemarin kita sudah marah." kata Melki.
Menurut dia, hal tersebut mesti menjadi perhatian serius seluruh elemen masyarakat. Sebab, tidak mungkin demokrasi dapat dirayakan jika ada pihak yang sudah dan berpotensi mengoyak hal tersebut di masa depan.
"Perjuangan kita bukan hanya 2024, melainkan perjuangaan mempertahankan negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia," kata Melki.