Jakarta: Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK) diminta progresif menegakkan keadilan lewat sengketa Pemilu 2024 yang dimulai pada Rabu, 27 Maret 2024. Putusan sengketa hasil pemilu oleh MK diharapkan seprogresif saat menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai permohonan yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, cukup baik. Gugatannya mampu membangun argumentasi konstitusional ihwal pentingnya menjaga kemurnian kedaulatan rakyat dan memastikan jalannya pemilu secara jujur serta adil.
Titi berpendapat para pemohon juga sudah cukup mampu mengorelasikan dampak pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dengan hasil perolehan suara.
Titi mencatat ada dua aspek permohonan yang diajukan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Pertama, konstitusionalitas pencalonan akibat masalah konstitusional dan legal pendaftaran pasangan nomor urut 2, Prabowo-Gibran.
"Kedua, karut marut berbagai pelanggaran pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang mencederai praktik pemilu yang jujur, adil, dan demokratis," terang Titi kepada Media Indonesia, Rabu, 27 Maret 2024.
Gibran berhasil menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo lewat putusan MK saat masih diketuai Anwar Usman, paman Gibran sekaligus adik ipar Presiden Joko Widodo.
MK menyatakan syarat usia capres-cawapres adalah paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Saat didaftarkan ke KPU, Gibran masih berusia 36 tahun.
Menurut Titi, para pemohon sudah berupaya mengonversi dampak praktik kecurangan yang kualitatif terhadap hasil pemilu yang sifatnya kuantitatif. Selain itu, isi permohonan sudah optimal meyakinkan majelis hakim konstitusi untuk tidak pragmatis dalam menangani perkara.
"Dan, mau mengambil langkah progresif menegakkan keadilan pemilu sebagaimana putusan yang banyak dikeluarkan MK saat menangani perselisihan hasil pilkada," ujar Titi.
Dia menerangkan hasil pilkada bisa dibatalkan karena kecurangan yang bukan dilakukan KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam menetapkan hasil, tapi karena perilaku pelanggaran yang dilakukan pihak terkait seabgai pasangan calon sebagai kandidat yang memperoleh suara terbanyak.
Bagi Titi, perselisihan hasil pemilu bukan hanya soal angka suara. Namun, meliputi upaya mempersoalkan asal-usul dari suara yang diperoleh. Dia tidak heran pemohon banyak menyoroti proses pemilu yang dianggap menyimpangi asas dan prinsip pemilu konstitusional yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Titi mengatakan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK kali ini sangat menarik dan strategis bagi pendidikan hukum dan kepemiluan untuk masyarakat. Di sisi lain, KPU, Bawaslu, dan semua pihak terkait dapat membuktikan kinerja serta kredibilitas mereka dalam menyelenggarakan pemilu.
Adapun terkait penggabungan perkara yang dimohonkan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, Titi menilai hal itu dapat dipahami mengingat terdapat kesamaan dari sisi objek, termohon, serta pihak terkait. Selain itu, penggabungan perkara oleh MK dapat menjaga koherensi dalam pembuktian.
"Sidang yang digabungkan sudah seringkali dilakukan, MK khususnya, dalam pengujian UU yang dilakukan beberapa pihak untuk perkara dengan objek pengujian UU yang sama," ujar Titi.
(
Tri Subarkah)