Candra Yuri Nuralam • 8 October 2025 09:38
Jakarta: Kortas Tipidkor Mabes Polri menetapkan Halim Kalla sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar). Keputusan itu diacungi jempol.
Kortas Tipidkor Polri dinilai tidak pandang bulu menjerat tersangka. Meski Halim merupakan adik Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla.
"Ini merupakan prestasi yang tentu harus ditingkatkan konsistensinya, bahwa siapapun yang diduga melakukan upaya tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, tanpa peduli status baik sosial maupun kedudukannya," kata eks Penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap kepada Metrotvnews.com, Rabu, 8 Oktober 2025.
Yudi mendukung penyidik Kortas Tipidkor menuntaskan kasus itu sampai ke akarnya. Termasuk, lanjutnya, menyeret Halim ke persidangan untuk diadili.
Yudi juga menyebut penetapan tersangka terhadap Halim merupakan bukti Polri tengah mengeluarkan taringnya kepada koruptor. Pemberantasan korupsi dinilai punya arah cerah ke depannya.
"Ini merupakan momentum yang bagus bahwa Polri semakin serius dalam memberantas korupsi di negeri ini," ucap Yudi.
Sebanyak empat orang ditetapkan tersangka pada 3 Oktober 2025. Adapun, keempat tersangka ialah FM selaku Dirut perusahaan listrik pemerintah periode 2008-2009; HK selaku Presiden Direktur PT BRN; RR selaku Dirut PT BRN; dan HYL selaku Dirut PT Praba.
Perkara ini berawal Pada 2008, saat perusahaan listrik pemerintah mengadakan lelang (ulang) untuk pekerjaan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2x50 MegaWatt di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. Akan tetapi, sebelum pelaksanaan lelang tersebut, diketahui pihak perusahaan listrik pemerintah melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar.
Selanjutnya dalam pelaksanaan lelang tersebut, diketahui bahwa Panitia Pengadaan perusahaan listrik pemerintah telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN – Alton – OJSC, meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis. Selain itu, diduga kuat bahwa Perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai PT BRN.
Selanjutnya, pada 2009 sebelum dilaksanakannya tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT BRN. Saat tanda tangan kontrak pada 11 Juni 2009, pihak perusahaan listrik pemerintah belum mendapatkan pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan.
Bahwa sampai dengan berakhirnya waktu kontrak pada 28 Februari 2012, KSO BRN maupun PT PI baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan. Bahkan, sampai amandemen kontrak yang ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaan, atau hanya mencapai 85,56 persen, karena alasan ketidakmampuan keuangan.
Halim Kalla tersangka korupsi/MI/Usman Iskandar
Namun demikian, diduga ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN (yang berasal dari pembayaran proyek) ke para tersangka dan pihak lainnya secara tidak sah. Kortas Tipidkor masih mengembangkan kasus ini untuk menjerat pelaku lainnya.
Keempat tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun, mereka tidak ditahan dengan pertimbangan masih proses pemberkasan perkara dan koordinasi dengan jaksa penuntut umum (JPU).