Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo (tengah). Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana
Siti Yona Hukmana • 7 October 2025 16:55
Jakarta: Presiden Direktur PT BRN Halim Kalla menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008-2018. Dia merupakan adik kandung Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla.
"Jadi tadi yang saya sampaikan memang demikian (HK itu Halim Kalla), tapi kalau saya melihat terkait rilis ini memang kami hanya inisial saja," kata Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo kepada wartawan dikutip Selasa, 7 Oktober 2025.
Sebelumnya, Direktur Penindakan Kortas Tipidkor Brigjen Totok Suharyanto mengatakan, kasus ini diselidiki pihaknya sejak 13 November 2024, saat masih bernama Direktorat Tipidkor Bareskrim Polri. Kasus ini diambil alih dari Polda Kalimantan Barat (Kalbar).
Total ada 65 aksi dan lima ahli dimintai keterangan. Proyek ini dinilai telah menimbulkan kerugian keuangan negara 62.410.523,20 USD (setara Rp1,350 triliun) dan Rp323.199.898.
"Kemudian tanggal 3 Oktober 2025, kita telah menetapkan empat tersangka," kata Totok dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin, 6 Oktober 2025.
Adapun, keempat tersangka ialah FM selaku Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero) periode 2008-2009; HK selaku Presiden Direktur PT BRN; RR selaku Dirut PT BRN; dan HYL selaku Dirut PT Praba. Tindak pidana korupsi ini berawal pada 2008, PT PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan PLTU 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2x50 MW di kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat.
"Mensrea yang dibangun adalah pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM selaku dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat," ungkap Totok.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan lelang diketahui bahwa Panitia Pengadaan atas arahan mantan Direktur Utama PLN inisial FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN Alton UGSC, meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN.
Kemudian pada 2009 sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak KSO BRN telah mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada, dengan Dirut inisial HYL. Dalam kesepakatan itu, ada pemberian imbalan fee kepada PT BRN. Selanjutnya, tersangka HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN.
"Dalam hal ini, diketahui bahwa PT Praba tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat," beber Totok.
Kemudian, pada 11 Juni 2009 dilakukan panandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN kala itu, dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.848.341 USD dan Rp507.424.168.000 atau total kurs saat itu Rp1,254 triliun. Dengan, tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai 28 Februari 2012.
Namun, pada akhir kontrak KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan. Kemudian telah dilakukan 10 kali amandemen terakhir pada 31 Desember 2018.
Ternyata, pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan baru selesai 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta USD.
"Itulah yang terjadi dengan total loss kerugian yang tadi telah disampaikan," ucap Totok.
Keempat tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun, mereka tidak ditahan dengan pertimbangan masih proses pemberkasan perkara dan koordinasi dengan jaksa penuntut umum (JPU).