Wakil Kepala Staf Kepresidenan M. Qodari. Foto: MI.
Jakarta: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu legislatif daerah dikritik. MK dinilai telah melampaui kewenangannya dan melanggar konstitusi.
Pernyataan itu disampaikan Muhammad Qodari menanggapi putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2025 yang memerintahkan pemilu anggota DPRD digelar dua tahun setelah pemilu nasional. Menurutnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan pemilu digelar lima tahun sekali secara serentak.
“MK sangat kebablasan. Tugas MK itu menurut Pasal 24C adalah menguji undang-undang terhadap UUD, bukan membuat norma baru yang bertentangan dengan konstitusi,” ujar Qodari dalam sebuah podcast, Kamis, 11 Juli 2025.
Ia menilai jika putusan tersebut dijalankan, masa jabatan anggota DPRD akan menjadi lebih dari lima tahun, yang berarti pelanggaran terhadap konstitusi.
“Kalau putusan ini diikuti, maka pemilu DPRD tidak lagi lima tahun sekali. Itu jelas melanggar Pasal 22E Ayat 2. Ini keputusan yang inkonstitusional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Qodari menilai putusan ini telah menimbulkan kebuntuan konstitusional. Di satu sisi, putusan MK bersifat final dan mengikat, namun di sisi lain, substansinya bertentangan dengan konstitusi.
“Kita masuk ke situasi yang tidak ada presedennya. Pemerintah serba salah. Kalau diikuti, artinya melanggar UUD. Tapi kalau tidak dijalankan, artinya mengabaikan putusan MK,” kata Qodari yang kini menjabat Wakil Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
Qodari bahkan menyebut MK telah berubah dari penjaga konstitusi menjadi pihak yang merusaknya. “Seharusnya mereka menjaga konstitusi, bukan menabraknya. Kita butuh pembenahan serius dalam sistem peradilan konstitusional,” katanya.
Ia juga mengkritik pertimbangan MK yang dinilainya tidak didasarkan pada fakta empiris. Salah satunya terkait argumen bahwa partai politik kesulitan menyiapkan calon legislatif dan eksekutif secara bersamaan.
“Itu opini. Faktanya selama ini partai bisa menyiapkan kedua kandidat secara serentak. Jadi tidak bisa dijadikan alasan untuk memutus pemilu dipisah,” kata Qodari.
Ia menilai argumentasi MK dalam perkara ini bersifat spekulatif dan tidak cukup kuat untuk mengubah sistem pemilu serentak yang sudah berjalan efisien. Karena itu, ia mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap kewenangan MK.
“Kalau MK terus seperti ini, maka sistem ketatanegaraan kita akan rusak. Kewenangan yang absolut tapi tidak terkendali itu sangat berbahaya,” tutup Qodari.