Anggota DPR dari PKB Luqman Hakim. Dok. Istimewa
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak berwenang menguji dan memutus sistem pemilu karena UUD tidak mengaturnya. Sistem pemilu merupakan open legal policy lembaga pembentuk UU, yakni DPR dan presiden.
"MK tidak berwenang membuat norma UU, karena MK tidak mendapat mandat Konstitusi untuk menjadi lembaga pembentuk UU," ujar anggota DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim saat dihubungi, Sabtu, 3 Juni 2023.
Dia mengatakan MK tidak berwenang mengabulkan permohonan yang berdampak pada terbentuknya norma baru sebuah UU. Dia menjelaskan UUD memberi kuasa kepada DPR untuk memegang kekuasaan dalam membentuk UU. Kewenangan MK menguji UU terhadap UUD, bukan membentuk UU.
"Dengan memahami secara utuh konstitusi negara Indonesia, yakni UUD, jika MK mengabulkan permohonan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, maka MK telah bertindak di luar wewenangnya dan mengambil alih kekuasaan DPR dan presiden. Membentuk atau mengubah norma UU adalah kewenangan DPR dan presiden, bukan MK," papar dia.
Dia menekankan jika putusan dibuat di luar kewenangan yang dimiliki, putusan MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan wajib diabaikan.
"DPR, presiden, KPU, Bawaslu, DKPP, dan semuah pihak tidak boleh mengikuti putusan yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tegas dia
Pemilu 2024 harus tetap didasarkan pada ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Perppu 1 Tahun 2022 tentang Perubahan UU Pemilu.