Editorial Media Indonesia: MK di Jalur Progresif. Foto: Media Indonesia (MI)/Duta.
Media Indonesia • 17 November 2025 07:06
Mahkamah Konstitusi (MK) pernah berkali-kali berada di titik terbawah mereka. Muruah MK sebagai benteng terakhir penegakan konstitusi sempat hancur lebur lantaran perilaku tidak pantas yang ditunjukkan sejumlah punggawa mereka, baik pimpinan tertinggi maupun para hakim konstitusi. Mulai dari tersangkut pidana korupsi hingga pelanggaran etik berat.
Untuk soal korupsi, pada Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar ditangkap dan menjadi pesakitan KPK karena terbukti menerima suap terkait dengan penanganan sejumlah kasus sengketa pilkada di MK. Lalu, pada Januari 2017, hakim konstitusi Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan KPK, kali ini menyangkut kasus suap upaya judicial review UU No 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Cukup tertatih-tatih MK, ketika itu, untuk membangun kembali kepercayaan publik yang terjun bebas. Namun, belum juga kepercayaan itu terbangun seperti posisi sebelum dua kasus korupsi itu menghantam, lembaga tersebut kembali terjerembap ke titik nihil. Mereka terjerumus persoalan besar terkait dengan pelanggaran etik Ketua MK saat itu, Anwar Usman.
Itu berawal dari Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden-calon wakil presiden yang amat kontroversial dan sarat konflik kepentingan. Dari situ publik menilai MK yang mestinya steril, nyatanya malah terjebak kepentingan politik. Mereka yang seharusnya independen, justru tampak nyaman berada di bawah naungan kekuasaan.
Kepercayaan publik pun kembali runtuh, seiring dengan anjloknya muruah, kredibilitas, dan independensi lembaga tersebut ke titik terendah. Sekali, apalagi berkali-kali kepercayaan itu jatuh, bukan perkara mudah bagi MK untuk mengembalikannya. Butuh kerja ekstra dari para penghuni gedung terhormat MK untuk mengangkat lagi kinerja serta wibawa mereka.
Dua tahun setelah geger Putusan No 90/2023 itu, harus diakui gerak dan laku MK tak lagi banyak melenceng. Mereka cukup mampu menjaga jarak dari virus-virus rasuah sekaligus menjaga kewarasan konstitusi dengan menelurkan sejumlah putusan yang bernyali. Mereka cukup progresif meluruskan regulasi yang dianggap melenceng, tidak seperti dulu saat MK justru kerap melencengkan sesuatu yang sudah lurus.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Dok. Metrotvnews.com
Sebutlah misalnya Putusan MK Nomor 60/PUU/XII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, juga putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan batas usia minimal calon kepala daerah 30 tahun terhitung sejak pendaftaran. Kedua putusan itu menggagalkan upaya segelintir kelompok yang ingin 'memainkan' pilkada demi kepentingan mereka.
Contoh lain yang lebih baru ialah putusan MK atas uji materi Pasal 23 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara yang menegaskan wakil menteri sebagaimana menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, termasuk komisaris BUMN.
Tak lama setelah itu, MK juga mengabulkan uji materi sejumlah pasal dalam
UU MD3 yang pada intinya mewajibkan DPR memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30% dalam jajaran pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Lalu yang teranyar ialah putusan MK terkait dengan uji materi UU Polri. MK melarang anggota aktif Polri menduduki jabatan sipil.
Sejumlah putusan menyegarkan yang diambil MK dalam beberapa waktu terakhir itu mengindikasikan bahwa mereka kembali menunjukkan arah yang progresif. Tren ini tentu patut kita apresiasi dan dukung. Kita layak menghargai langkah itu sebagai upaya MK untuk berbenah dan menguatkan independensi mereka.
Akan tetapi, mesti juga kita ingatkan bahwa gerak dan keberanian MK itu mesti dijaga konsistensi dan persistensinya. Jangan cuma hangat-hangat tahi ayam. Konsisten dalam langkah progresif, persisten dalam melindungi independensi akan menjadi kunci bagi MK untuk menjaga supremasi konstitusi sekaligus mengembalikan kepercayaan publik.
Dengan kualitas MK yang seperti itu, mutu legislasi juga diharapkan akan terkerek. Nantinya, lembaga pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, tak akan lagi berani membuat undang-undang tanpa melalui proses yang benar karena di seberang sana MK sudah siap untuk mematahkannya.