Respons Putusan MK, Amnesty: Tidak Memilih Agama Bentuk Kebebasan Beragama

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Medcom.id/Vania Liu

Respons Putusan MK, Amnesty: Tidak Memilih Agama Bentuk Kebebasan Beragama

Tri Subarkah • 4 January 2025 17:59

Jakarta: Amnesty International Indonesia merespons putusan Mahkamah Konsitusi (MK) atas perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 terkait penghapusan kolom agama di KTP elektronik dan penghapusan syarat sah perkawinan berdasarkan agama atau kepercayaan. Pembatasan kebebasan beragama dalam pertimbangan putusan MK dinilai tak sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi Indonesia pada 2005.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan meski MK menggaungkan istilah kebebasan beragama, tapi dimensi yang digunakan masih sempit. Sembari mewajibkan warga negara memilih agama, MK juga melarang warga negara untuk tidak memiliki agama.

"Ini jelas bukan sebuah kebebasan dan menyimpang dari makna kebebasan beragama yang sebenarnya yang telah diatur dalam norma-norma intenasional," kata Usman dalam keterangannya, Sabtu, 4 Januari 2025.

Lewat putusannya, MK menegaskan syarat sahnya perkawinan di Indonesia adalah hukum agama atau kepercayaan yang dianut warga. Bagi MK, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan.

"Kebebasan beragama adalah kemerdekaan dalam memilih atau tidak memilih agama atau kepercayaan dan tidak semestinya diikuti oleh embel-embel kewajiban ataupun pelarangan," kata Usman.

Dia mengingatkan produk hukum Indonesia seharusnya didasarkan pada ICCPR dan hukum internasional secara umum. Namun, pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang dimohonkan Raymond Kamil dan Indra Syahputra menunjukkan hal sebaliknya.

Pasal 18 ayat (1) ICCPR, kata Usman, menjamin hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk dalam konteks meyakini maupun mempraktikkan, baik di tempat umum ataupun tertutup. Dia juga menyinggung Komite HAM PBB telah menyatakan istilah kepercayaan dan agama agar dimaknai secara luas. 

"Hingga mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Seseorang harus bebas dari pemaksaan untuk memiliki ataupun menganut suatu agama atau kepercayaan dan hak ini semestinya tidak dibatasi oleh negara," ujar Usman.
 

Baca Juga: 

MK Tolak Gugatan Penghapusan Agama di KTP dan Syarat Pernikahan


MK memutuskan menolak gugatan perkara nomor 146/PUU-XXII/2024 terkait penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta penghapusan agama dan kepercayaan sebagai syarat sah perkawinan. MK menyatakan perkawinan tidak sah apabila tanpa memiliki agama atau kepercayaan yang dianut warganegara.

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Jumat, 3 Januari 2025.

Hakim konstitusi Arief Hidayat dalam pertimbangannya menegaskan UU Perkawinan harus dipahami secara utuh dan tidak parsial. MK menilai sesuai dengan amanat UUD NKRI 1945 dan Pancasila, perkawinan tidak dapat terlepas dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif," jelas Arief.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)