Ilustrasi. Foto: dok MI.
Husen Miftahudin • 9 October 2025 18:25
Jakarta: Disrupsi digital kini menjadi keniscayaan di hampir seluruh sektor ekonomi. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan dan mengalami percepatan besar-besaran pada sektor e-commerce, transportasi digital, InsureTech, investasi, dan keuangan.
Perubahan besar ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang kepercayaan dan tata kelola (akuntabilitas). Industri keuangan dan asuransi menghadapi tantangan di tengah kepercayaan yang rendah dituntut pula untuk menyeimbangkan antara inovasi dengan kepatuhan terhadap regulasi yang semakin ketat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui berbagai kebijakan terkini seperti POJK 11/2023 dan POJK 23/2023 menegaskan pentingnya governance, manajemen risiko, dan transparansi pelaporan. Regulasi semacam ini menjadi 'rem dan pedal gas' sekaligus mendorong percepatan transformasi sambil memastikan industri tumbuh dengan prinsip akuntabilitas.
"OJK telah menerbitkan POJK 11/2023. Ditargetkan selesai tahun 2026 untuk asuransi. OJK berharap dengan langkah ini, industri asuransi syariah akan mengalami pertumbuhan yang lebih baik dan penguatan posisi di pasar," ucap Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 9 Oktober 2025.
Di sisi lain, kepercayaan publik kini menjadi aset yang paling berharga. Dalam era di mana setiap pengalaman pelanggan dapat tersebar luas di media sosial, reputasi keuangan perusahaan ditentukan bukan hanya oleh laporan tahunan, tetapi juga oleh pengalaman pengguna yang nyata dan konsisten.
AI mempercepat klaim dan menjaga akuntabilitas
Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) kini mulai mengubah wajah layanan keuangan di Indonesia. Dalam proses klaim asuransi, AI mampu mempercepat validasi dokumen, menganalisis pola anomali, serta mengidentifikasi indikasi penipuan secara otomatis.
Beberapa perusahaan melaporkan waktu penyelesaian klaim menurun drastis dari tujuh hari menjadi kurang dari 24 jam, dengan tingkat akurasi deteksi fraud mencapai lebih dari 90 persen.
Hal ini menjelaskan sebagian besar klaim penipuan bisa dikenali benar jika data dan model mendukung. Angka ini mencerminkan potensi ideal dalam kondisi data yang lengkap dan model perhitungan yang matang.
Selain mempercepat layanan, sistem berbasis AI ini juga meningkatkan transparansi, karena seluruh proses terekam digital dan mudah diaudit, sejalan dengan semangat akuntabilitas yang menjadi fokus regulator.
Transformasi digital pun membawa perubahan pada desain produk. Dengan data dan AI, perusahaan bisa menyajikan produk sesuai kebutuhan spesifik: Proteksi kesehatan jangka pendek, asuransi perjalanan berdasarkan jarak atau durasi, hingga asuransi digital untuk pengguna aktif layanan online.
Upaya ini juga mendukung inklusi keuangan. Berdasarkan data OJK per September 2024, penetrasi asuransi Indonesia tercatat 2,80 persen terhadap PDB, dengan densitas rata-rata mencapai Rp2.080.020 per kapita per tahun.
Sementara itu, data OJK per Februari 2025 menunjukkan penetrasi asuransi sedikit menurun ke 2,72 persen dari level 2,84 persen pada Desember 2024. Data ini menunjukkan meskipun ada upaya, penetrasi industri asuransi masih sangat fluktuatif dan masih rendah secara historis.
(Ilustrasi. Foto: dok Metrotvnews.com)
Transformasi jadi ukuran kesehatan korporasi
Transformasi dinilai bukan proses sementara, melainkan strategi jangka panjang yang dilakukan secara konsisten untuk menjaga ketahanan dan kepercayaan publik terhadap industri.
Perusahaan keuangan dan asuransi dinilai harus bersedia mentransformasi secara menyeluruh, menggabungkan data, AI, inovasi produk, dan governance yang kuat, demi pertumbuhan yang sehat dan terpercaya.
Dengan penetrasi asuransi yang masih berkisar antara 2,7 persen sampai 2,8 persen per 2024-2025, ruang tumbuh masih sangat luas. Namun, pertumbuhan itu hanya dapat direalisasikan jika kepercayaan, tata kelola, dan integritas menjadi pondasi transformasi.
Di era konsumen bisa melihat kesalahan perusahaan melalui media sosial, satu hal menjadi pasti, yang bertahan bukanlah yang paling besar atau paling berteknologi tinggi, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya.
"Sebab, di era digital ini, satu hal menjadi pasti, yang bertahan bukanlah yang paling besar, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya," ungkap laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company.