Ilustrasi TKD. Foto: MI.
PEMANGKASAN dana transfer pusat ke daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 mestinya tidak terlalu membuat pemerintah daerah risau. Kenyataannya, dana transfer daerah itu telanjur mendarah daging dan menciptakan ketergantungan sangat akut.
Maka, pemangkasan TKD itu pun membuat sejumlah kepala daerah gerah. Bahkan, sebanyak 18 dari 38 gubernur se-Indonesia sampai mendatangi Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa pada Selasa (7/10).
Dalam pertemuan tersebut, kepala daerah yang terhimpun dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) itu memprotes anggaran TKD dalam RABPN 2026 yang ditetapkan sebesar Rp650 triliun. Besaran tersebut dipangkas 24,8% dari proyeksi 2025 sebesar Rp864,1 triliun.
Bagi para pemimpin daerah itu, pemotongan TKD akan berpengaruh pada kemampuan fiskal daerah, termasuk untuk pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN) atau belanja operasional pegawai.
Kegundahgulanaan para kepala daerah tentu dapat dipahami. Apalagi, hampir seluruh daerah saat ini bergantung pada TKD. Bahkan, Ketua
Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda memperkirakan, sebanyak 493 dari 546 atau 90,3% daerah memiliki ketergantungan pada transfer dana dari pusat, alias kapasitas fiskal daerah lemah. Hanya 26 daerah (4,76%) yang mampu berdiri di atas kaki sendiri karena pendapatan asli daerah (PAD) mereka lebih besar daripada dana transfer pusat.
Saking lemahnya, ada daerah yang memiliki PAD di bawah 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Papua Pegunungan, misalnya, yang memiliki PAD hanya 8,4%, Aceh 26,48%, dan Gorontalo 22,95%. Maka, untuk memenuhi kebutuhan daerah, mereka hanya bisa menengadahkan tangan memohon dana dari pemerintah pusat.
Ilustrasi anggaran. Foto: MI/Usman Iskandar.
Kendati demikian, ada juga daerah yang berhasil memiliki PAD besar, dan mereka tidak bergantung sepenuhnya pada TKD. Contohnya Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan PAD sudah mencapai 72%.
Bila melihat realisasi TKD 2025 hingga 31 Agustus sebesar Rp571,5 triliun, belanja daerah terkontraksi hingga 14,1%. Padahal, realisasi TKD ini lebih besar jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp562,1 triliun.
Akibat melambatnya belanja daerah, dana pemerintah daerah banyak terparkir di perbankan. Per akhir Agustus 2025, dana pemda di perbankan mencapai Rp233,11 triliun. Adapun pada Agustus 2024, dana pemda yang tersimpan di bank sebanyak Rp192,57 triliun.
Peningkatan dana daerah di bank tentu bukanlah prestasi. Dengan semakin besar dana yang disimpan di bank, sama saja berarti serapan anggaran yang kecil, menghambat pembangunan di daerah serta pertumbuhan ekonomi lokal, dan mengurangi perputaran uang. Belum lagi kalau melihat potensi kemungkinan pemda hendak mendapatkan bunga bank.
Tidak mengherankan bila pemerintah pusat memilih untuk tidak serta-merta tunduk dengan tuntutan para gubernur yang hadir di Kantor Kemenkeu. Para kepala dearah diminta untuk perbaiki dulu kualitas belanja dan tata kelola anggaran agar dana TKD benar-benar memberi dampak optimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Apalagi, masih banyak anggaran daerah yang dihabiskan bukan untuk kepentingan rakyat maupun belanja pegawai, melainkan dipakai untuk rapat, perjalanan dinas, hingga makan dan minum berlebihan. Di lain pihak, sebagian daerah bisa melakukan efisiensi anggaran belanja mereka.
Selain itu, kepala daerah juga harus bekerja cerdas dan inovatif dalam mencari pendapatan tambahan. Tentunya, tanpa harus memberatkan rakyat kecil. Jangan karena hendak menambah pundi-pundi daerah dengan mudah, rakyat dikenai pajak atau retribusi tambahan lagi. Kecuali, pemimpin daerah hendak mencari gara-gara dan berhadapan dengan tuntutan massa sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Daerah semestinya mampu berkembang meski berat. Syaratnya,
kepala daerah juga harus berpikir lebih keras dan berpikir
out of the box untuk meraih pendapatan. Langkah itu yang antara lain ditempuh Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang memilih tidak ikut rekan-rekannya menyambangi Menkeu Purbaya. Justru, Purbaya yang mendatangi dirinya.
Padahal, TKD ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal dipotong sekitar Rp16 triliun. Akan tetapi, Pramono memilih tidak banyak bicara dan grasah-grusuh. Dia lebih memilih mempersiapkan
alternative financing untuk membangun Jakarta.
Tantangan bagi para pemimpin daerah ialah menjadikan transfer dana dari pemerintah pusat berfungsi sebagai stimulan, bukan napas utama. Daerah harus mulai melakukan diversifikasi PAD, reformasi total dan optimalisasi badan usaha milik daerah (BUMD) serta aset daerah, dan pemanfaatan transfer yang lebih efektif. Dengan begitu, tak perlu terus-terusan menengadahkan tangan secara berlebihan ke pusat.