Direktur Tindak Pidana PPA-PPO Brigjen Nurul Azizah. Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana.
Jakarta: Polri memburu seorang pelaku tindak pindana perdagangan orang (TPPO) ke Myanmar berinisial IR. Dia telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
"Kami telah menerbitkan DPO dan mendistribusikannya ke jajaran kewilayahan untuk dilakukan upaya paksa," kata Direktur Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak dan Pemberantasan Perdagangan Orang (PPA-PPO) Bareskrim Polri Brigjen Nurul Azizah dalam keterangan tertulis, Selasa, 15 Juli 2025.
Nurul mengatakan, IR masuk dalam Daftar Pencarian Orang sejak 24 Juni 2025. Dalam kasus ini, IR berperan dalam pengaturan akomodasi, pemesanan tiket, hingga pengantaran korban ke Myanmar.
Sementara itu, satu tersangka lainnya berinisial HR telah ditangkap di Jakarta pada 20 Maret 2025. HR berperan aktif dalam proses perekrutan dan pengiriman korban ke luar negeri.
Tersangka HR juga telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Bangka, Provinsi Bangka Belitung pada 14 Juli 2025 untuk persidangan. Selain tersangka, Polri juga menyerahkan barang bukti. Seperti enam buah paspor, dua unit handphone, dua bundel rekening koran, satu unit laptop, dan tiga bundel manifes penumpang.
Adapun modus para pelaku dalam TPPO ini merekrut pekerja migran ilegal yang dijanjikan bekerja di Uni Emirat Arab. Namun, justru dikirim secara ilegal ke Myanmar dan dipekerjakan sebagai admin kripto.
Pengungkapan kasus ini berawal dari proses repatriasi Warga Negara Indonesia (WNI) dari Myanmar pada Maret 2025 lalu. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa korban awalnya direkrut oleh pelaku dengan janji pekerjaan di Uni Emirat Arab, namun kemudian dialihkan ke Thailand dan akhirnya dibawa ke wilayah Myawaddy, Myanmar.
Korban dijanjikan bekerja sebagai admin kripto dengan gaji 26.000 Baht per bulan. Namun kenyataannya, pekerjaan serta upah yang diterima tidak sesuai, dan korban justru mengalami eksploitasi.
Para pelaku memfasilitasi seluruh proses pemberangkatan korban, mulai dari pembuatan paspor,
interview melalui
video call WhatsApp, hingga pembelian tiket pesawat dari Pangkal Pinang ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Bahkan akomodasi hingga ke Myanmar juga ditanggung oleh jaringan pelaku.
Kini, Polri tengah bekerja sama dengan PPATK untuk menelusuri aliran transaksi keuangan yang melibatkan para tersangka, guna mengungkap aktor intelektual di balik jaringan ini. Selain itu, Direktorat PPA-PPO juga bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Divisi Hubinter Polri untuk membongkar jaringan di luar negeri.
"Kasus ini adalah bukti nyata bagaimana para pelaku TPPO terus mencari cara untuk mengeksploitasi korban dengan berbagai modus baru. Kami mengingatkan masyarakat agar tidak mudah tergiur dengan iming-iming pekerjaan bergaji tinggi dari pihak yang tidak jelas legalitasnya," tegas Nurul.
Para tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp600 juta. Mereka juga dijerat Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.