Ilustrasi rupiah. Foto: MI/Susanto
Husen Miftahudin • 11 February 2025 09:30
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami pelemahan tipis.
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 11 Februari 2025, rupiah hingga pukul 09.08 WIB berada di level Rp16.375 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 17 poin atau setara 0,10 persen dari Rp16.358 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.339 per USD. Level tersebut masih tidak berubah dibandingkan dengan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.340 per USD hingga Rp16.410 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Tarif baru Trump
Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru sebesar 25 persen untuk semua impor baja dan aluminium. Langkah ini telah meningkatkan kekhawatiran atas meningkatnya ketegangan perdagangan dan dampak potensialnya terhadap ekonomi global. Tarif balasan Tiongkok atas barang-barang AS akan mulai berlaku, dan semakin berkontribusi pada sentimen yang lemah.
Trump mengatakan AS membuat kemajuan dengan Rusia untuk mengakhiri perang Ukraina, tetapi menolak memberikan rincian tentang komunikasi apa pun yang ia lakukan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Sanksi yang dijatuhkan pada perdagangan minyak Rusia pada 10 Januari mengganggu pasokan Moskow ke klien utamanya, Tiongkok dan India.
Washington juga meningkatkan tekanan terhadap Iran minggu lalu, dengan Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi baru terhadap beberapa individu dan kapal tanker yang membantu mengirimkan jutaan barel minyak mentah Iran per tahun ke Tiongkok.
Sementara itu, investor menilai laporan inflasi Januari dari Tiongkok. Indeks harga konsumen (IHK) naik moderat pada Januari, sementara indeks harga produsen (PPI) mengalami penurunan yang konsisten. Data ini menyoroti pelemahan berkelanjutan dalam belanja rumah tangga dan aktivitas industri, pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
"Pasar mencermati respons kebijakan Tiongkok. Inflasi yang lemah dapat mendorong Beijing untuk meluncurkan lebih banyak langkah stimulus, seperti pemotongan suku bunga atau belanja infrastruktur, untuk meningkatkan ekonominya yang lesu," jelas Ibrahim.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Dorong geliat industri manufaktur
Menurut Ibrahim, pemerintah perlu mendorong geliat industri manufaktur untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi tumbuh 5,2 persen pada 2025. Hal tersebut sudah terlihat ada indikasi terjadi tren deindustrialisasi dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu, perlu disikapi mengingat manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja terbesar.
Jika industri manufaktur terus melemah, maka masyarakat akan kesulitan mencari pekerjaan. Akibatnya, makin banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal. Sektor informal tentu sulit diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama dalam jangka menengah hingga panjang.
"Tidak heran apabila
daya beli masyarakat menurun, upah pekerja informal tidak sebanding dengan pekerja formal. Pertumbuhan ekonomi pun akan semakin melambat karena konsumsi rumah tangga masih menjadi pembentuk utama produk domestik bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga sendiri dipengaruhi oleh daya beli masyarakat," tutur dia.
Harus diingat, kata dia, Indonesia saat ini mengalami tantangan struktural yang serius di mana dapat dilihat dari sisi daya beli masyarakat yang terus tergerus dan pelemahan industri yang cukup serius, sehingga dibutuhkan paket kebijakan stimulus.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga mendistribusikan hingga 54,04 persen pertumbuhan ekonomi pada 2024. "Saat ini pun, konsumsi rumah tangga juga perlu menjadi perhatian pemerintah terutama dalam mendesain kebijakan di tahun ini," papar Ibrahim.