Profil Mohamed Hamdan Dagalo, Pemimpin RSF yang Ingin Kuasai Sudan

Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti. (Anadolu)

Profil Mohamed Hamdan Dagalo, Pemimpin RSF yang Ingin Kuasai Sudan

Riza Aslam Khaeron • 6 November 2025 17:39

Jakarta: Kota El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, jatuh ke tangan Rapid Support Forces (RSF) sejak 26 Oktober 2025. Kota tersebut merupakan salah satu benteng terakhir yang dipertahankan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di wilayah barat negara itu.

Sejak kejatuhan kota tersebut kepada RSF, berbagai laporan kejahatan perang bermunculan.

Milisi tersebut dilaporkan telah membunuh lebih dari 2.000 orang, dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pembantaian 460 orang di rumah sakit kota tersebut. RSF, yang kini menguasai sebagian besar wilayah Darfur, tampaknya semakin dekat dengan ambisinya untuk menguasai negara.

Di balik kelompok paramiliter ini berdiri seorang tokoh sentral: Mohamed Hamdan Dagalo, atau lebih dikenal sebagai Hemedti. Siapakah dia sebenarnya, dan bagaimana perannya dalam konflik berdarah di Sudan? Berikut profilnya.
 

Kehidupan Awal dan Karier di Janjaweed


Foto: Penggembala unta di Sudan. (The Velve Rocket)

Hemedti lahir sekitar tahun 1974 dari suku Mahariya, salah satu cabang komunitas Rizeigat Arab di wilayah Darfur.

Ia merupakan cucu dari kepala klan yang menggembalakan ternak, termasuk unta, di wilayah Darfur dan Chad. Bertubuh tinggi dan berpenampilan mencolok, ia dijuluki "Hemedti" yang berarti "Mohamed kecil" karena wajah mudanya.

Pada usia 15 tahun, ia berhenti sekolah dan bekerja sebagai penggembala unta lintas batas antara Sudan, Chad, Niger, dan Libya. Sebelum menjadi tokoh militer, ia dikenal sebagai pedagang unta yang beroperasi di wilayah perbatasan Sudan–Chad.

Transformasi Hemedti dari penggembala menjadi komandan milisi dimulai ketika konvoi dagangnya diserang, 60 anggota keluarganya tewas, dan unta-untanya dijarah. Tragedi ini memaksanya mengangkat senjata dalam konflik Darfur yang mulai pecah pada 2003.

Ia bergabung dengan kelompok milisi Janjaweed—koalisi milisi Arab bersenjata yang terkenal brutal dan dibentuk untuk melawan kelompok-kelompok non-Arab di Darfur atas perintah Presiden Omar al-Bashir.

Dalam waktu singkat, Hemedti menarik perhatian pemerintah pusat. Presiden Bashir merekrut para pemimpin Janjaweed untuk memperkuat cengkeramannya di wilayah barat yang bergolak. Di bawah naungan intelijen militer Sudan, Hemedti naik menjadi komandan.

Di sinilah reputasinya sebagai pemimpin milisi yang loyal dan efektif mulai terbentuk, meski dibayangi tuduhan pelanggaran HAM berat.
 
Baca Juga:
Milisi Janjaweed: 'Setan Berkuda' Asal-Usul RSF Sudan
 

Pembentukan RSF dan Perang Sudan


Foto: RSF. (Darfur24)

Pada tahun 2013, Hemedti memimpin pembentukan pasukan paramiliter kelanjutan Janjaweed yang kemudian dikenal sebagai Rapid Support Forces (RSF). Pasukan ini dibentuk atas restu Presiden Omar al-Bashir dan Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Sudan.

Di bawah komando Hemedti, RSF segera menjadi kekuatan tempur andalan pemerintah dalam menumpas pemberontakan dan demonstrasi. Al-Bashir memercayai Hemedti untuk mengendalikan berbagai wilayah strategis dan memberinya kebebasan luas.

Pasca jatuhnya al-Bashir pada April 2019 akibat gerakan rakyat, Hemedti tidak kehilangan pengaruh.

Ia segera masuk dalam Dewan Militer Transisi dan kemudian Dewan Kedaulatan sebagai wakil ketua. Meskipun menjadi bagian dari struktur pemerintahan sementara, RSF tetap beroperasi secara otonom sebagai kekuatan di luar komando militer reguler SAF.

Pada Oktober 2021, Hemedti dan militer resmi Sudan (SAF) di bawah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan melakukan kudeta militer terhadap pemerintahan sipil-transisi. Kudeta ini memupus harapan transisi demokratis dan memperkuat dominasi kekuasaan bersenjata.

Namun, kerja sama antara RSF dan SAF hanya bersifat sementara. Ketegangan internal memburuk akibat polemik integrasi RSF ke dalam militer resmi Sudan hingga akhirnya meletus menjadi perang terbuka pada 15 April 2023.

Kedua belah pihak—RSF dan SAF—bersaing untuk menguasai pusat kekuasaan di Khartoum dan wilayah strategis lainnya.

Hemedti menuduh militer dikuasai oleh loyalis Bashir yang menghambat transisi demokrasi. Sebaliknya, RSF dituduh ingin mendirikan negara dalam negara melalui kekuatan senjata.Perang tersebut diperkirakan telah menewaskan 150 ribu nyawa dan menyebabkan lebih dari 8 juta warga terdampar.
 
Baca Juga:
Siapa Itu RSF? Pasukan Paramiliter yang Dituduh Lakukan Genosida di Sudan
 

Tuduhan Kejahatan Perang

Hemedti dan pasukan RSF yang ia pimpin telah berulang kali dituduh melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, hingga genosida sejak lebih dari satu dekade terakhir. 

Salah satu peristiwa paling awal dan menonjol adalah pembantaian Khartoum pada 3 Juni 2019, saat RSF membubarkan paksa aksi duduk damai di luar Kementerian Pertahanan selama masa transisi pasca jatuhnya Omar al-Bashir.

Lebih dari 100 orang dilaporkan dibunuh, 500 lainnya luka-luka, dan puluhan perempuan diperkosa. RSF juga menjarah rumah-rumah warga di sekitar lokasi. Beberapa jasad korban dilaporkan dibuang ke Sungai Nil dengan diberi pemberat semen agar tidak ditemukan.

Selang beberapa hari kemudian, RSF juga dilaporkan menembaki warga sipil di pasar al-Dalij, Darfur Tengah, menewaskan sembilan orang dan membakar pasar sebagai bentuk pembalasan terhadap aksi pembangkangan sipil.

Selain itu, dalam konteks Perang Yaman, RSF disebut merekrut dan mengirimkan anak-anak ke medan tempur sebagai bagian dari bantuan militer Sudan kepada koalisi pimpinan Arab Saudi, menurut laporan The New York Times pada Desember 2018.

Sejak pecahnya Perang Sudan pada April 2023, tuduhan kejahatan RSF meningkat tajam. Laporan Human Rights Watch tahun 2024 mendokumentasikan pemerkosaan massal, perkawinan paksa, perampokan rumah, pengusiran paksa, serta penggunaan gereja dan rumah sakit sebagai tameng militer di Khartoum dan wilayah sekitarnya.

Otoritas melaporkan lebih dari 88 kasus kekerasan seksual dilaporkan pada pertengahan 2023, dan lembaga hak perempuan Combating Violence Against Women Unit memperkirakan angka sebenarnya bisa mencapai 4.400 kasus

Tuduhan paling serius muncul pada Oktober 2025, ketika RSF merebut kota El-Fasher setelah pengepungan 18 bulan.

Laporan dari Sudan Doctors Network dan Humanitarian Research Lab Yale menyebut RSF melakukan pembantaian etnis terhadap warga non-Arab, termasuk eksekusi dari rumah ke rumah, pemerkosaan sistematis, dan penyiksaan.

WHO juga mengungkapkan bahwa lebih dari 460 orang dibantai di rumah sakit utama El-Fasher. Total korban jiwa diperkirakan melebihi 2.000 orang. HRL menyatakan bahwa aksi RSF di El-Fasher dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mungkin genosida.

Atas pelanggaran-pelanggaran ini, komunitas internasional mulai mengambil tindakan. Pada 12 November 2024, Komandan RSF di Darfur Timur, Abdel Rahman Juma Barkalla, dikenai sanksi oleh Amerika Serikat karena pelanggaran HAM berat. Kemudian, pada 7 Januari 2025, pemerintah AS secara resmi menuduh RSF melakukan genosida.

Hemedti dan tujuh perusahaan milik RSF yang berbasis di Uni Emirat Arab (UEA) dijatuhi sanksi ekonomi dan larangan perjalanan oleh Departemen Keuangan AS.
 
Baca Juga:
Dugaan Keterlibatan UEA dalam Perang Sudan, Tuduhan dan Motifnya
 

Bisnis Emas Hemedti dengan Dubai


Foto: Ilustrasi tambang emas sudan. (Al Majalla)

Hemedti tidak hanya bersumber dari kekuatan militer melalui RSF, tetapi juga dari kendalinya atas tambang emas—sumber kekayaan terbesar Sudan. Keluarga Hemedti dilaporkan mengoperasikan perusahaan bernama Algunade, yang berperan penting dalam perdagangan emas Sudan ke luar negeri.

Pada akhir 2018, ketika ekonomi Sudan mengalami krisis dan pemerintahan Omar al-Bashir mulai melemah, Algunade mengekspor hampir satu ton emas senilai sekitar 30 juta dolar AS ke Dubai UEA. Bashir memberi Hemedti kebebasan penuh untuk menjual emas di luar kendali bank sentral, bahkan terkadang dengan harga istimewa.

Sebagai imbalannya, sebagian keuntungan diduga digunakan untuk membeli bahan bakar, gandum, dan persenjataan bagi RSF.

Tambang utama yang dikuasai Hemedti berada di Jebel Amer, wilayah kaya emas di Darfur Barat. Setelah merebut tambang tersebut dari kelompok saingan pada 2017, Hemedti disebut-sebut sebagai “raja Jebel Amer.” Penguasaan atas tambang ini memberinya kekuatan ekonomi yang jauh melampaui pejabat militer lainnya. 

Hemedti sendiri secara terbuka mengakui kepemilikan tambang emas. 

"Saya bukan orang pertama yang memiliki tambang emas. Benar, kami memiliki tambang, dan tidak ada yang melarang kami bekerja di sektor emas,” ucap Hemedti dalam wawancara dengan BBC pada Agustus 2019.

Meski begitu, pihaknya membantah adanya hubungan langsung antara RSF dan Algunade, dengan alasan perusahaan itu dimiliki oleh saudaranya, *Abdelrahim Dagalo, yang juga menjabat wakil komandan RSF.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)