Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang/Medcom.id/Siti
Siti Yona Hukmana • 17 October 2023 18:27
Jakarta: Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang enggan mengomentari keterlibatan Ketua KPK Firli Bahuri dalam dugaan pemerasan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Saut berdalih tidak berkompetensi untuk menjawab.
"Itu luar, saya enggak masuk ke situ pemerasan SYL. Nanti di 12 E dan 12 B silakan penyidik di KPK. Itu kompetensinya mereka," kata Saut di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa, 17 Oktober 2023.
Kedua beleid itu mengatur soal pemerasan. Pimpinan KPK yang menjadi terlapor dalam kasus ini diterapkan Pasal 12 huruf E atau Pasal 12 huruf B, atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahu 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 KUHP.
Ada lima pimpinan KPK. Mereka ialah Ketua KPK Firli Bahuri dan empat Wakil ketua KPK antara lain Alexander Marwata, Johanis Tanak, Nawawi Pomolango, dan Nurul Ghufron. Namun, belum terungkap sosok pimpinan KPK yang menjadi terlapor kasus dugaan pemerasan ini.
Meski demikian, beredar foto pertemuan Ketua KPK Firli Bahuri dengan Syahrul di tengah kasus dugaan pemerasan ditangani Polda Metro Jaya. Saut Situmorang selalu mantan Wakil Ketua KPK menegaskan pertemuan itu dilarang dengan alasan apapun, karena SYL tengah berkasus di KPK.
"Enggak boleh, itu pidananya disitu (Pasal) 36 dan 65 (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)," kata Saut.
Pasal 36 itu menyatakan bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
Sementara itu, Pasal 65 menyebutkan setiap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Menurut Saut, Firli Bahuri harus dikenakan sanksi etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK, bila paham dengan undang-undang. Sebab, kata dia, dalam regulasi itu ditegaskan ada lima tugas Dewas KPK. Yakni integritas, sinergitas, profesional, kepemimpinan dan keadilan.
"Jadi profesional enggak ini pimpinan ketemu sama orang yang berperkara? ya berarti melanggar kan, harusnya komisi etiknya bekerja dong. Integrasi enggak, ya enggak, harusnya Dewasnya sudah mulai bekerja kalau memang itu terjadi. Tapi sampai hari ini kita enggak dengar kan," ujar Saut.
Kemudian, dia mendorong Polda Metro Jaya menetapkan Firli sebagai tersangka atas pertemuan tersebut. Saut diminta untuk menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan pemerasan. Namun, Saut mengatakan dia hanya fokus menjelaskan soal pertemuan sesuai Pasal 36 dan 65 UU KPK.
"Ya kalau gue kemari enggak ditersangkain, ya sia-sia gue ke sini. Mending gue di rumah saja ngomong sama lu, sama media, ke mana-mana teriak-teriak," kata Saut.
Kasus ini berawal saat ada aduan masyarakat (dumas) masuk ke Polda Metro Jaya pada Sabtu, 12 Agustus 2023 terkait kasus dugaan korupsi berupa pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Kemudian, polisi menerbitkan surat perintah pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) pada Selasa, 15 Agustus 2023, sebagai dasar pengumpulan bahan keterangan atas informasi atau pengaduan masyarakat tersebut.
Selanjutnya, surat perintah penyelidikan diterbitkan pada 21 Agustus 2023. Sehingga, tim penyelidik Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya melakukan serangkaian upaya penyelidikan menemukan apakah ada peristiwa pidana yang terjadi dari aduan masyarakat tersebut.
Dalam proses penyelidikan, dilakukan serangkaian klarifikasi atau permintaan keterangan kepada beberapa pihak. Pemeriksaan dilakukan mulai 24 Agustus 2023.