Podium Media Indonesia: Hukum Kertas Bencana Nyata

Dewan Redaksi Media Group, Gaudensius Suhardi. Foto: Media Indonesia/Ebet.

Podium Media Indonesia: Hukum Kertas Bencana Nyata

Media Indonesia • 8 December 2025 06:37

Sudah tidak terhitung jumlah regulasi yang mengatur permasalahan hutan dan lingkungan di negeri ini. Jumlahnya lebih dari 2.000, mulai undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga peraturan daerah.

Apakah undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan lingkungan, terutama untuk kepentingan pencegahan banjir dan tanah longsor, itu benar-benar efektif?
 


Jujur dikatakan bahwa semua regulasi yang sangat mulia tetap menjadi saksi bisu atas banyak pelanggaran terhadap hukum. Pelanggaran itu sudah berlangsung lama, sangat lama. Kita seakan-akan baru bangun dari tidur panjang dan langsung berteriak mengapa terjadi deforestasi?

Kesadaran itu muncul setelah melihat gelondong, atau kayu batangan, berukuran besar hanyut terbawa oleh aliran banjir bandang yang melanda sejumlah provinsi di Sumatra pada akhir November 2025. Diduga, gelondong itu akibat pembalakan liar.

Gelondong itu menggelinding di rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 4 Desember 2025. Ketua Komisi IV DPR Siti Hediati Soeharto mengangkatnya.

Sebelum berbicara, Titiek Soeharto memutar potongan video yang memperlihatkan truk membawa batang pohon dalam jumlah besar. Disebutkan bahwa pengangkutan itu hanya dua hari setelah kejadian bencana banjir Sumatra.

“Saudara Menteri, terus terang saya sedih, miris, dan saya marah. Bayangkan kayu sebesar itu, diameter 1,5 meter itu, berapa ratus tahun perlu tumbuh untuk pohon yang sebesar itu. Ini, manusia mana di Indonesia ini yang seenaknya aja bisa motong-motong kayu seperti itu? Apa salah itu kayu dia bikin? Salah itu pohon itu apa? Dia bikin begitu banyak kebaikan buat manusia," kata Titiek.


Penampakan kayu di lokasi bencana alam di Sumatra. Foto: Antara/Yusrizal.

Perhatian Titiek Soeharto pada kayu besar itu mengingatkan Santo Fransiskus dari Assisi yang menyebut bumi sebagai rumah kita bersama bagaikan seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita.

Saudari kita itu kini menjerit karena segala kerusakan yang kita timpakan kepadanya. Oleh karena itu, Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang berjudul Laudato Si mengajak setiap orang untuk menjaga Saudari Bumi, rumah kita bersama.

Esensi rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kehutanan ialah menjaga Saudari Bumi yang sedang menjerit. Ada delapan poin kesimpulan/keputusan rapat.

Di antaranya ialah Komisi IV DPR mendorong Kementerian Kehutanan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah-daerah lahan kritis guna memulihkan fungsi ekologis untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Komisi IV DPR juga mendesak Kementerian Kehutanan untuk segera menindak perusahaan pemegang perizinan berusaha atau persetujuan penggunaan kawasan hutan dan tambang ilegal (PETI) yang terbukti berkontribusi menyebabkan banjir di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Setelah rapat di Gedung DPR, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni langsung menemui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kemudian pada Sabtu, 6 Desember 2025, Kemenhut mengumumkan penyegelan empat dari 12 subjek hukum terindikasi penyebab terjadinya banjir dan longsor di Sumatra.
 
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup pada 5 Desember 2025 langsung menghentikan sementara operasional PT Agincourt Resources, PT Perkebunan Nusantara III, dan PT North Sumatera Hydro Energy selaku pengembang PLTA Batang Toru. Ketiga perusahaan itu beroperasi di hulu DAS Batang Toru, Sumatra Utara.

Kalau ada kemauan, kementerian bisa menindak. Elok nian bila penegakan hukum tidak menunggu terjadinya banjir yang menelan banyak korban jiwa. Menegakkan hukum ialah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah yang memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang menggunakan hutan.

Pembiaran atas pelanggaran hukum itu sangat terasa dampaknya oleh kaum miskin paling rentan. Kita bisa melantunkan selarik doa untuk bumi dalam ensiklik Laudato Si, “Sentuhlah hati mereka yang hanya mencari keuntungan dengan mengorbankan bumi dan kaum miskin papa.”

Syair doa itu sejatinya putusan yang lebih keras daripada regulasi. Hukum tanpa keadilan ekologis hanyalah lembaran kertas, sedangkan banjir, longsor, dan kehilangan nyawa menjadi nota tagihan atas kelalaian negara.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)